JAKARTA, KOMPAS.com - Penulis buku Paradigma Politik Muhammadiyah, Ridho Al-Hamdi mengatakan, Presiden ke-2 RI Soeharto pernah meminta agar Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjadi partai politik.
Menurut dia, hal tersebut terjadi sekitar tahun 1968. Akan tetapi, usaha Soeharto untuk meminta Muhammadiyah menjadi partai politik itu pun gagal.
"Tahun 1968, Soeharto meminta Muhammadiyah menjadi partai politik, tapi kemudian Faqih Usman pada saat itu Ketua Umum PP Muhammadiyah menyampaikan penolakan hal tersebut," kata Ridho dalam diskusi virtual "Muhammadiyah dan Politik: Mengurai Dinamika Jelang Pemilu 2024", Sabtu (12/6/2021).
Baca juga: Temui PP Muhammadiyah, Presiden PKS Bicara soal Politik Persatuan
Ridho kemudian menceritakan sedikit alasan mengapa Soeharto meminta Muhammadiyah menjadi partai politik.
Berdasarkan hal yang disampaikannya, alasannya adalah karena Soeharto lebih memilih untuk meminta Muhammadiyah menjadi partai politik daripada merehabilitasi Masyumi.
"Soeharto pada saat itu setelah tumbangnya Orde Lama, Soeharto kemudian meminta, daripada merehabilitasi Masyumi, kenapa enggak Muhammadiyah menjadi partai politik saja? Tetapi kemudian ditolak oleh Kyai Faqih Usman," ucapnya.
Kendati demikian, menurut Ridho, usaha-usaha untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik terus terjadi.
Baca juga: Bertemu PP Muhammadiyah, PKS Bahas soal Pemberantasan Korupsi
Pada tahun 1969, Ridho mengungkapkan, terjadi Khittah Ponorogo di mana menjadi salah satu dokumen ideologis terpenting dalam sejarah perjalanan Persyarikatan Muhammadiyah.
Khittah tersebut mengkhususkan diri bagaimana Muhammadiyah menentukan posisi organisasi hubungannya dengan politik.
"Itu sudah mulai muncul bahwa Muhammadiyah menjaga jarak dengan kekuatan politik manapun. Tetapi 1969 itu masih ada nafas dukungan Muhammadiyah untuk Parmusi, sehingga masih belum murni," ucapnya.
Baca juga: Aturan Investasi Miras di Perpres 49/2021, PP Muhammadiyah: Keputusan Mulia dan Bijak