Quo-vadis demokrasi
Setengah abad sudah kita ditinggal pergi oleh Putra Sang Fajar. Banyak warisan berharga yang ia titipkan untuk kita. Pancasila, Politik Bebas Aktif, Dasa Sila Bandung, Berdikari secara kebudayaan, politik, dan ekonomi. Semua itu terancam menjadi artefak.
Pasalnya, tak ada yang benar-benar terwujud nyata. Pancasila sebagai dasar negara saja ripuh. Kita masih saja berkutat dengan perkara intoleransi. Malah penyakit ini kian merajalela di kota-kota kita.
Sabang, Banda Aceh, Medan, Padang, Tanjung Balai, Cilegon, Depok, Bogor, Makassar, dan Jakarta (Kompas, 2 Juni 2021), merupakan sepuluh kota yang masyarakatnya paling punya masalah dengan tenggang rasa. Ironisnya, warga ibu kota yang harusnya berkarakter kosmopolitan ternyata malah jadi katak dalam tempurung.
Pemerintah yang berkuasa, berikut partai pemenangnya, gagal dan gagap menyikapi soal tersebut. Apa buktinya? Kementerian Agama tak pernah diampu tokoh selain Muslim. Wajar bila gereja, vihara, klenteng, selalu jadi bulan-bulanan umat Muslim yang mayoritas. Malah ada yang lebih gila. Masjid warga Ahmadiyah pun luluh lantak.
Lambat laun anak-anak bangsa ini tumbuh sebagai demagogi yang tak terkendali. Rakyat (demos) telah berubah menjadi pemimpin tak bermoral (agogos). Sebabnya sederhana. Mereka yang terlampau lama ditindas hingga babak bundas akhirnya balik menindas manakala beroleh kesempatan.