Salin Artikel

Demagogi Sukarno

Jika seorang pemuda bau kencur bisa jadi walikota, kenapa petani tak boleh? Bilamana seorang penjahat perang dengan mudah mencalonkan diri bolak-balik sebagai orang nomor satu Indonesia, kenapa pula penjual cabai tak diberi perkenan yang sama?

Beginilah kita. Pokoknya setan alas pun bisa jadi presiden, setelah ia mendirikan partai dan tentu, harus jadi ketuanya terlebih dahulu. Setelah itu, ia bebas bertingkah bak pemilik tunggal Nusaraya kita tercinta. Seolah nenek moyangnya-lah yang mewariskan tanah keramat ini, khusus untuknya seorang.

Bagi Anda yang tak mampu, atau lebih tepatnya belum punya kesempatan mendirikan partai, jangan khawatir. Cukup mencoblos wajah mereka di lembar suara pada pemilihan umum. Nanti kalau Anda lihat ia berubah jadi munyuk, silakan rutuki pilihan sendiri. Gampang kan.

Sejatinya, kami ngungun juga menyikapi kondisi tersebut. Betapa tidak, Kisanak. Dari mana juntrungannya, partai kemudian menjadi perwakilan rakyat, bila proses awalnya saja sudah naudzubillah. Kecuali pendiri negara, sampai presiden keempat saja yang tak mengeluarkan sepeser uang pun untuk itu. Sisanya, harus menyetor upeti triliunan dulu ke kas partai masing-masing.

Lebih ajaib lagi, hal itu juga berlaku sampai ke tingkat kades. Jadi dengan kata lain, seluruh jabatan yang katanya dialamatkan untuk kemaslahatan rakyat, ternyata sekadar jual-beli semata. Lingkaran setan inilah yang jadi pemicu korupsi bertubi-tubi. Sampai kiamat sekali pun, jangan harap suara rakyat itu kan mewujud suara tuhan. Omong kosong!

Jika memang Pemerintah yang berkuasa kali ini punya itikad baik, hapus semua kekonyolan itu. Tak boleh ada lagi badut politik yang mentas di depan foto besar Bung Karno, lalu seenak jidatnya menipu rakyat bahwa Sang Proklamator telah memberinya restu.

Pemilu dengan biaya selangit sudah seharusnya diubah. Manfaatkanlah teknologi digital. Asal diiringi niat nan tulus, siapapun calon presiden terbaik yang kita miliki sesuai standar mutunya bisa dipilih dengan mudah melalui gawai yang kini digenggam ratusan juta rakyat.

Sampai di sini, Anda mafhum apa yang kami maksud? Ya, sudah sejak era Orde Baru, negara kita dijadikan bancakan para elite. Kebiasaan terpuji itu rupanya masih dilanjutkan oleh rezim reformasi yang cuma bersalin rupa saja. Setali tiga uang. Hampir tak ada satu pun partai yang bisa dipercaya. Lucunya lagi, para pemilihnya juga mau saja dikadali. Dengan senang hati dibohongi mentah-mentah.


Kita belum lagi berbincang terah keluarga yang ogah kehilangan kue kekuasaan. Sedari anak turunan Sukarno, Soeharto, SBY, hingga dinasti jawara Banten. Sesungguhnya, pola itu juga berlangsung di seantero negara ini. Kita saja yang membiarkan perilaku tengik itu selama ini.

Bukti bahwa sistem demokrasi kita abal-abal adalah, wajah calon presidennya tak pernah berganti selama tiga pemilu. Macam tak ada lagi sosok lain yang lebih pantas memangku jabatan strategis seperti itu.

Namun apa mau dikata. Demokrasi memang membuka pintu pada selain meritokrasi. Malahan yang punya kompetensi menjadi presiden pun bisa dijegal. Kalau perlu, jangan sampai muncul ke permukaan. Sebisa mungkin dibanteras supaya Pancasila berhenti jadi jargon. Undang Undang Dasar 1945 sekadar pemanis bibir belaka.

Tiada mengapa rakyat megap-megap dirajam kemiskinan asalkan konsesi ekonomi tak berpindah tangan kepada yang berhak. Rakyat Indonesia sudah mahir sakit hati sembari gigit jari. Mereka takkan pernah terpikir merevolusi lagi haluan negaranya.

Para petinggi partai juga sudah kadung mendemagogi dirinya. Percuma berkoar. Anjing menggonggong kafilah berlalu. Mereka lebih senang memuja kapital ketimbang budi pekerti. Terlanjur gemar memperkaya diri daripada menggunakan hati nurani.

Palestina di seberang laut terlihat, rakyatnya mati di lumbung padi yang kosong, tak tampak lagi. Mental pengelola negara yang salah urus ini tak lagi mempermasalahkan sawah-ladang kita yang pelan tapi pasti disulap menjadi pabrik dan kluster perumahan. Mereka juga santai saja mengetahui negeri bahari ini kehilangan pamornya di samudera.

Kadangkala kami sering berpikir, jauh lebih baik negara kita menganut sistem monarki saja. Lalu tugas pemerintahan dilaksanakan perdana menteri dengan parlemennya. Britania Raya adalah teladan terbaik untuk ini. Jika tak mau, kita masih bisa kembali pada khazanah luhur bangsa sendiri dengan konsep Tri Tangtu di Buwana: Rama, Rasi, Ratu.

Rama adalah sekumpulan bijak bestari dari tiap provinsi yang bertugas membaca semua gejala zaman. Rasi, para penghayat agama yang mengayomi umat di bawah naungan spiritualitas. Sementara Ratu, bertakhta di karatuan (keraton). Menjalankan titah para Rama-Rasi demi kebahagiaan rakyat semesta. Sunda, Sriwijaya, hingga Majapahit, pernah menggunakannya dalam rentang ribuan tahun sebelum Kesultanan Turki mengubah wajah pemerintahan kita dengan sedemikian rupa. Alhasil, jati diri bangsa matahari ini pun lindap entah ke mana.


Quo-vadis demokrasi

Setengah abad sudah kita ditinggal pergi oleh Putra Sang Fajar. Banyak warisan berharga yang ia titipkan untuk kita. Pancasila, Politik Bebas Aktif, Dasa Sila Bandung, Berdikari secara kebudayaan, politik, dan ekonomi. Semua itu terancam menjadi artefak.

Pasalnya, tak ada yang benar-benar terwujud nyata. Pancasila sebagai dasar negara saja ripuh. Kita masih saja berkutat dengan perkara intoleransi. Malah penyakit ini kian merajalela di kota-kota kita.

Sabang, Banda Aceh, Medan, Padang, Tanjung Balai, Cilegon, Depok, Bogor, Makassar, dan Jakarta (Kompas, 2 Juni 2021), merupakan sepuluh kota yang masyarakatnya paling punya masalah dengan tenggang rasa. Ironisnya, warga ibu kota yang harusnya berkarakter kosmopolitan ternyata malah jadi katak dalam tempurung.

Pemerintah yang berkuasa, berikut partai pemenangnya, gagal dan gagap menyikapi soal tersebut. Apa buktinya? Kementerian Agama tak pernah diampu tokoh selain Muslim. Wajar bila gereja, vihara, klenteng, selalu jadi bulan-bulanan umat Muslim yang mayoritas. Malah ada yang lebih gila. Masjid warga Ahmadiyah pun luluh lantak.

Lambat laun anak-anak bangsa ini tumbuh sebagai demagogi yang tak terkendali. Rakyat (demos) telah berubah menjadi pemimpin tak bermoral (agogos). Sebabnya sederhana. Mereka yang terlampau lama ditindas hingga babak bundas akhirnya balik menindas manakala beroleh kesempatan.


Sistem politik yang kita anut menutup peluang kemunculan para pemimpin bertalenta unggulan. Lantas kita semua pun abai dengan sebuah pesan manis dari sosok yang memproklamasikan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia berikut:

"Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekali pun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Hyang Maha Esa.” (Sukarno, 1967).

Pesan mengharukan itu disampaikan Bung Besar saat ia diusir secara paksa oleh penguasa rezim Orde Baru dari Istana Negara. Semua ajudan menangis saat tahu bahwa Bung Karno hendak pergi jauh dari mereka.

"Kenapa Bapak tidak melawan, kenapa dari dulu Bapak tidak melawan..?" salah seorang ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno.

"Kalian tahu apa... Apabila saya melawan nanti pecah perang saudara. Itu jauh lebih sulit. Jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu, keluarganya sama dengan keluargamu. Lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara," tegas Bung Karno kepada para ajudannya.

Spirit itulah yang sulit kita jumpai dalam dinamika berbangsa dan bernegara, selama satu dasawarsa ini. Indonesia, sedang membutuhkan manusia yang paripurna.

Dirgahayu, Bung Karno...

https://nasional.kompas.com/read/2021/06/06/14541401/demagogi-sukarno

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke