Kita belum lagi berbincang terah keluarga yang ogah kehilangan kue kekuasaan. Sedari anak turunan Sukarno, Soeharto, SBY, hingga dinasti jawara Banten. Sesungguhnya, pola itu juga berlangsung di seantero negara ini. Kita saja yang membiarkan perilaku tengik itu selama ini.
Bukti bahwa sistem demokrasi kita abal-abal adalah, wajah calon presidennya tak pernah berganti selama tiga pemilu. Macam tak ada lagi sosok lain yang lebih pantas memangku jabatan strategis seperti itu.
Namun apa mau dikata. Demokrasi memang membuka pintu pada selain meritokrasi. Malahan yang punya kompetensi menjadi presiden pun bisa dijegal. Kalau perlu, jangan sampai muncul ke permukaan. Sebisa mungkin dibanteras supaya Pancasila berhenti jadi jargon. Undang Undang Dasar 1945 sekadar pemanis bibir belaka.
Tiada mengapa rakyat megap-megap dirajam kemiskinan asalkan konsesi ekonomi tak berpindah tangan kepada yang berhak. Rakyat Indonesia sudah mahir sakit hati sembari gigit jari. Mereka takkan pernah terpikir merevolusi lagi haluan negaranya.
Para petinggi partai juga sudah kadung mendemagogi dirinya. Percuma berkoar. Anjing menggonggong kafilah berlalu. Mereka lebih senang memuja kapital ketimbang budi pekerti. Terlanjur gemar memperkaya diri daripada menggunakan hati nurani.
Palestina di seberang laut terlihat, rakyatnya mati di lumbung padi yang kosong, tak tampak lagi. Mental pengelola negara yang salah urus ini tak lagi mempermasalahkan sawah-ladang kita yang pelan tapi pasti disulap menjadi pabrik dan kluster perumahan. Mereka juga santai saja mengetahui negeri bahari ini kehilangan pamornya di samudera.
Kadangkala kami sering berpikir, jauh lebih baik negara kita menganut sistem monarki saja. Lalu tugas pemerintahan dilaksanakan perdana menteri dengan parlemennya. Britania Raya adalah teladan terbaik untuk ini. Jika tak mau, kita masih bisa kembali pada khazanah luhur bangsa sendiri dengan konsep Tri Tangtu di Buwana: Rama, Rasi, Ratu.
Rama adalah sekumpulan bijak bestari dari tiap provinsi yang bertugas membaca semua gejala zaman. Rasi, para penghayat agama yang mengayomi umat di bawah naungan spiritualitas. Sementara Ratu, bertakhta di karatuan (keraton). Menjalankan titah para Rama-Rasi demi kebahagiaan rakyat semesta. Sunda, Sriwijaya, hingga Majapahit, pernah menggunakannya dalam rentang ribuan tahun sebelum Kesultanan Turki mengubah wajah pemerintahan kita dengan sedemikian rupa. Alhasil, jati diri bangsa matahari ini pun lindap entah ke mana.