JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim konstitusi Wahiduddin Adams memiliki pendapat yang berbeda dalam putusan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Adapun perkara itu diajukan oleh eks pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang.
Dalam salah satu pandangannya, Wahiduddin menilai momentum pengesahan UU KPK terkesan terlalu tergesa-gesa.
Pasalnya, pengesahan UU tersebut disahkan tidak beberapa lama sejak kontestasi penyelenggaraan Pilpres 2019 dan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada bulan Oktober 2019.
Bahkan, ia juga menyoroti cepatnya penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari revisi undang-undang KPK (RUU KPK) yang diserahkan Presiden Jokowi kepada DPR RI.
Dilansir dari laman resmi MK, Wahiduddin merupakan sosok pria kelahiran Palembang 17 Januari 1954.
Sejak kecil ia mengenyam pendidikan di sekolah berbasis Islam seperti Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah.
Kemudian, pria yang akrab disapa Wahid ini melanjutkan pendidikan sarjananya di jurusan Peradilan Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada tahun 1979.
Lalu, De Postdoctorale Cursus Wetgevingsleer di Leiden, Belanda tahun 1987. Dia juga mengambil pendidikan S2 Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada 1991.
Baca juga: MK Tolak Uji Formil UU KPK, Satu Hakim Konstitusi Memilih Dissenting Opinion
Setelah itu, Wahiduddin lanjut ke pendidikan S3 Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada tahun 2002.
Setelah selesai mengambil program doktor, Wahid kembali kuliah Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Jakarta pada tahun 2005.
Ayah Wahid yang pernah bekerja sebagai kepala kantor kecamatan dan Ibunya yang mengabdi menjadi seorang guru tidak menjadikan Wahid dan kedua adiknya terabai dari pendidikan.
"Saya melihat karena mereka (orangtua) bekerja ikhlas, selalu beribadah dengan baik, memohon kepada Allah petunjuk dan bimbingan, Alhamdulillah saya dan adik-adik saya dapat berpendidikan baik," ujar Wahid seperti dilansir dari laman resmi MK, Rabu (5/4/2021).
Karier tertinggi yang dijalani Wahiduddin sebelum menjadi hakim konstitusi yakni menjadi Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Ia juga sempat aktif sebagai Ketua Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) selama tiga tahun.
Selain itu, pernah menjadi anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Baca juga: Hakim MK Wahiduddin Adams Sebut DIM dalam Proses UU KPK Tak Sesuai Common Sense
Dia juga pernah menjadi Wakil Sekretaris Dewan Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan sejumlah organisasi lainnya.
Wahid mengaku memiliki tujuan ingin menjadi dosen di Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta saat pensiun dari jabatannya di Kemenkumham
Namun, karena DPR membuka seleksi hakim MK dan ia pun memberanikan diri untuk ikut mendaftar sebagai calon hakim.
Saat menjalani seleksi, Wahiduddin mengaku sempat ditanyai mengenai independensinya jika terpilih sebagai hakim konstitusi.
Baca juga: Rangkuman Putusan MK soal UU KPK: 3 Perkara Ditolak, 3 Tak Diterima, 1 Dikabulkan Sebagian
Ia pun menjawab syarat independensi hakim sudah ditentukan oleh konstitusi, termasuk suasana kerja dan aturan kerjanya.
Wahid juga berkomitmen untuk mengikuti aturan sebagai hakim konstitusi yang tentunya lebih banyak batasan yang mesti ia perhatikan.
"Kalau birokrasi karena relasi hubungan kerja itu banyak dan terbuka, sementara di sini fokus dan yudikatif. Ya, saya harus membatasi diri," kata Wahid
"Kalau di perundang-undangan ada kegiatan harmonisasi yang seluruh kementerian dan lembaga tiap hari berhubungan, berinteraksi yang setiap saat dan sangat cair sekali, sementara di sini fokus pada yudikatifnya dan komunikasi dengan eksternal sudah dibatasi oleh konstitusi dan Undang-Undang MK sendiri," ujar dia.
Baca juga: Putusan Uji Materi UU KPK: Penyadapan, Penggeledahan, Penyitaan Tak Perlu Izin Dewan Pengawas
Kendati demikian, Wahid menegaskan pekerjaannya sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan di Kemenkumham dengan hakim konstitusi memiliki persamaan tolok ukur yakni Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut dia, saat pembentukan UU ia berusaha agar tidak bertentangan dengan UUD 1945.
"Kalau di sini ya menguji undang-undang yang telah dibuat pemerintah dan DPR terhadap UUD 1945," ucap Wahiduddin Adams.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.