Namun, berdasarkan data Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang dilaporkan laman https://corona.jatengprov.go.id/data, tercatat total ada 3.459 pasien tutup usia akibat Covid-19.
Dengan demikian, terdapat selisih data sebanyak 1.262 antara Satgas dengan pemerintah provinsi.
Ketidaksinkronan data pusat dengan daerah juga terjadi di Kota Depok, Jawa Barat.
Juru bicara Satgas Covid-19 Kota Depok, Dadang Wihana, mengungkapkan bahwa pihaknya pernah diminta untuk menggunakan dua data, yakni data untuk publikasi dan data realtime.
Padahal, data kasus Covid-19 real-time yang dilaporkan Depok lebih besar sekitar 20-30 persen.
"Pada saat yang lalu kami, kabupaten/kota, diajak ataupun diminta mengikuti data rilis yang sama dengan pemerintah pusat untuk kepentingan publikasi, diarahkan untuk menggunakan dua data, data published (publikasi) dan data realtime, tetapi Kota Depok tidak bisa memenuhi itu," kata Dadang pada 7 Januari 2021 itu.
"Kota Depok tetap paradigmanya menggunakan data realtime. Yang Kota Depok publish adalah data realtime karena ini menyangkut keselamatan manusia," ujarnya.
Baca juga: Selasa Ini, KPU dan Kemenkes Akan Teken MoU Akses Data Pemilih untuk Vaksinasi Covid-19
Dadang lalu mencontohkan, Depok telah mencatat total 18.514 kasus Covid-19, sebanyak 14.450 pasien sembuh, dan 441 pasien meninggal.
Sementara itu, data Kemenkes hanya mencatat total 13.446 kasus Covid-19 di Depok, 10.679 sembuh, dan 204 meninggal.
Itu berarti, selain selisih 5.068 kasus positif Covid-19 (27 persen), ada selisih 3.771 pasien sembuh ( 26 persen). Selisih terbesar terjadi pada kasus kematian di Depok yang hanya tercatat 240 kasus (selisih 54 persen) di Kementerian Kesehatan.
"Data yang digunakan, salah satunya untuk menghitung zona resiko daerah oleh Satgas Pusat, mengambil data dari Pusdatin Kementerian Kesehatan. Untuk kabupaten dan kota di Jawa Barat fasilitas untuk data itu memang dikendalikan oleh Pikobar Jawa Barat," ujar Dadang.
Dia pun khawatir dualisme data itu dikhawatirkan bakal bermuara pada koordinasi penanganan pandemi yang pelik antara pusat dan daerah.
Terpantau sejak Juni 2020
Terkait perbedaan data Covid-19 antara pusat dengan daerah itu ditanggapi oleh Co-founder KawalCovid19 Elina Ciptadi.
Menurut dia, perbedaan data yang mencuat belakangan sebenarnya bukan hal yang baru.
Pasalnya, perbedaan data itu sudah lama ditemukan oleh KawalCovid19, bahkan sejak 30 Juni 2020.
"Kita sudah tahu itu sejak lama. Jadi kalau kita lihat Facebook atau Twitter-nya KawalCovid sudah berbulan-bulan kami meng-highlight itu ya," kata Elina pada Desember 2020.
Baca juga: [EKSKLUSIF] Saat Sita Tyasutami Baru Tahu Jadi Pasien 01 Covid-19 Setelah Diumumkan Jokowi
"Bahwa kita melihat ada data yang tiba-tiba besar, tapi kemudian beberapa hari datanya tidak di-update di daerah," sambungnya.
Sebagai contoh, KawalCovid19 telah melihat perbedaan data antara pusat dan daerah pada 30 Juni 2020. Data tersebut terlihat di Provinsi Jawa Tengah.
Elina menjelaskan, jumlah kesembuhan dan kematian kasus terkonfirmasi Covid-19 di Jateng sudah mencapai 1.856 dan 322 orang kala itu. Namun, versi nasional mengatakan mencapai 1.159 dan 150 orang.
"Nah, data kita itu kan ada yang dari pengumuman Satgas Covid-19 pusat di covid19.go.id. Itu satu poin data ya, tapi kan kita melihat dari web corona di daerah juga, per kabupaten dan juga provinsi. Kadang-kadang kita lihat kok datanya sudah beberapa hari segitu-segitu saja, ternyata memang datanya tidak di-update," ujarnya.
Oleh karena itu, menurutnya wajar apabila pemerintah dalam hal ini Satgas Penanganan Covid-19 pusat kemudian mengakumulasi kasus baru dari jumlah kasus hari-hari sebelumnya.
Sebagai contoh di Papua, Satgas Covid-19 melaporkan penambahan kasus harian sebanyak 1.755 kasus pada Kamis (3/12/2020).
Bagi KawalCovid19, kata dia, data kasus adalah hal yang sangat penting bagi masyarakat untuk menentukan semua pilihan atau keputusan di tengah pandemi.
"Memberikan data yang tidak cuma akurat, tapi juga cepat. Itu bisa memberikan publik informasi untuk mempelajari risiko yang ada di lapangan," katanya.
"Jadi bayangkan kalau misalnya di daerah A, datanya tidak bergerak, oh berarti daerah itu sudah aman, publik akan berkata demikian. Bisa ada implikasi demikian, tapi kemudian ada update data lonjakan, mereka panik," jelasnya.
Baca juga: Setahun Pandemi Virus Corona, Manakah Vaksin Covid-19 Terbaik?
Elina melihat adanya perbedaan data dan pengakuan data yang diakumulasi itu membuktikan bahwa pemerintah belum memberikan alat untuk dapat mengambil keputusan di tengah pandemi kepada masyarakat.
Baik itu keputusan bepergian, bisnis, maupun keputusan hal yang seharusnya lebih berhati-hati karena ancaman Covid-19 masih mengintai.
Penjelasan alur pengumpulan data Covid-19
Kepala Pusat Data dan Infomasi Kementerian Kesehatan Didik Budijanto menjelaskan alur pengumpulan data terkait penanganan virus corona atau Covid-19.