JAKARTA, KOMPAS.com - Penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di dalam sistem hukum di Tanah Air dinilai kurang adil bagi sebagian masyarakat.
VN, misalnya. Ibu rumah tangga itu harus menjalani hukuman percobaan selama 2 tahun karena dianggap bersalah melanggar Pasal 27 ayat (3) UU tersebut.
Ketika bercerita dalam diskusi daring yang diselenggarakan Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) dan Southeast Asia Freedom Of Expression Network (Safenet), VN mengaku, dilaporkan sendiri oleh kakak iparnya karena konflik internal keluarga.
Cerita berawal saat VN hendak menagih utang yang ia pinjamkan kepada kakak iparnya. Lantaran utang yang tak kunjung dibayar, terjadilah perselisihan antara keduanya di grup WhatsApp keluarga.
VN pun akhirnya menuliskan apa yang terjadi pada akun Facebook miliknya.
"Saya pikir kalau saya menceritakan fakta, bukan hoax, itu tidak melanggar UU ITE. Ternyata saya diperkarakan karena pelapor merasa nama baiknya tercemar," kata dia, Jumat (19/2/2021).
Baca juga: Paguyuban Korban Sebut Tiga Pihak yang Sering Pakai Pasal Karet UU ITE
VN akhirnya divonis bersalah. Majelis hakim sempat menawarkan agar VN melakukan mediasi dengan kakak iparnya.
Namun, syarat yang diajukan oleh kakak iparnnya terlalu berat dan tak bisa ia penuhi.
"Saya dan keluarga tak bisa penuhi syarat-syarat yang diajukan pelapor, saya tak bisa sampaikan apa saja, tapi menurut kami syaratnya terlalu berat," ungkapnya.
Akhirnya proses persidangan tetap berlangsung, dan VN mengaku ia dan keluarganya mengalami trauma.
Anak-anak VN selalu dilanda ketakutan, suaminya juga sempat tak bisa bergerak karena terlalu stres.
VN juga harus kehilangan pekerjaan, karena banyak orang membatalkan kontrak kerjasama karena tak lagi mempercayainya sebagai terdakwa kasus pencemaran nama baik.
"Saya kadang berpikir, di posisi ini yang harus diperbaiki nama baiknya saya atau pelapor? Saya dan keluarga stres, trauma, dan kehilangan pekerjaan," imbuhnya.
Baca juga: Nilai Pasal 28 Ayat 2 UU ITE Multitafsir, Pengamat Pertanyakan Kedudukan Hukum Presiden
Trauma
Cerita yang sama juga dialami korban bernama MA, yang dilaporkan karena pencemaran nama baik pada 2012 silam.
MA saat itu dilaporkan karena statusnya di Blackberry Messenger (BBM) yang berisi penolakan pada salah satu calon kepala daerah di Makassar, yang merupakan adik seorang koruptor.
Meski diputus tidak bersalah, namun MA sempat mendekam di penjara selama 100 hari saat proses penyelidikan, penyidikan hingga peradilan berlangsung.
MA mengaku kedua orang tuanya mengalami trauma ketakutan, dan memilih menjual serta pindah dari rumah yang lama untuk menghindari rasa takut tersebut.
"Kedua orang tua saya sampai ketakutan, karena apa, yang menjerat saya adalah orang besar di wilayah itu. Yang tersiksa dalam proses hukum tidak cuma saya tapi juga keluarga," cerita MA.
"Bagaimana keluarga harus menghadapi kehilangan karena salah satu anggotanya dipenjara, hanya karena masalah ketersinggungan," sambung MA.
Menurut MA, meski diputus bebas, namun perasaan trauma itu masih muncul.
Ia selalu dihantui ketakutan apakah masyarakat akan menerimanya kembali.
Baca juga: Selain UU ITE, KUHP Dinilai Perlu Direvisi untuk Hentikan Aksi Saling Lapor
"Yang dialami banyak korban karena UU ITE ini adalah juga pertanyaan bahwa setelah diputus bebas atau keluar dari tahanan apakah masyatakat masih mau menerima keberadaan kita," pungkas MA.
Adapun Presiden Joko Widodo membuka wacana merevisi UU ITE jika dirasa tidak bisa menghadirkan keadilan.
Jokowi menyebut akan mengajak DPR untuk merevisi pasal-pasal karet yang dalam implementasinya menciptakan multitafsir.
"Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ujar Jokowi, Senin (15/2/2021) lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.