Pada semester I 2020, kerugian negara mencapai Rp 39 triliun akibat korupsi. Sedangkan total vonis uang pengganti hanya Rp 2,9 triliun.
“Gap tersebut itu kan jadi problem hari ini, itu kalau kita terus menerus masih menggunakan pendekatan hukum pidana," ujarnya.
Baca juga: PPATK Berharap RUU Perampasan Aset Bisa Segera Disahkan
Kurnia mengatakan, hingga kini belum ada regulasi yang mengatur perampasan aset koruptor, baik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ataupun Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam UU Tipikor, perampasan aset bisa dilakukan seandainya terdakwa divonis bebas, tetapi ada kerugian keuangan negara. Ketentuan lainnya, perampasan aset bisa dilakukan ketika tersangka meninggal dunia.
Sedangkan, RUU Perampasan Aset mengatur ketentuan bahwa tersangka harus membuktikan aset yang dihadirkan di persidangan itu bukan hasil dari tindak pidana korupsi.
“Kalau tidak bisa dibuktikan ya dirampas, sesederhana itu sebenarnya,” ucap Kurnia.
Disusun sejak 2018
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meminta Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mendorong RUU Perampasan Aset masuk daftar Prolegnas Prioritas.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae menyampaikan hal tersebut saat bertemu Menkumham Yasonna Laoly beserta jajaran di kantor Kemenkumham, Senin (15/2/2021).
"Sehubungan dengan tidak adanya lagi pending issue, PPATK meminta kesediaan Kemenkumham mendorong ditetapkannya RUU Perampasan Aset sebagai RUU Prioritas Tahun 2021 atau setidaknya RUU Prioritas 2022," ujar Dian, dalam keterangannya, Senin.
Baca juga: PPATK Minta Pemerintah Dorong RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas Prioritas
Ia menuturkan, RUU yang diinisasi oleh PPATK itu disusun pada 2008. RUU itu kemudian selesai dibahas antarkementerian pada November 2010.
Kementerian/lembaga yang terlibat dalam penyusunannya adalah Kemenkumham, PPATK, Kemenpan RB, Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretariat Negara, akademisi FH UI, Polri, KPK dan Kejaksaan Agung.
"RUU Perampasan Aset Tindak Pidana telah disampaikan kepada Presiden melalui surat Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PP.02.03-46 tanggal 12 Desember 2011," ujar Dian.
RUU itu dirumuskan dengan mengadopsi ketentuan dalam The United Nations Convention against Corruption (UNCAC) dan konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture.
Dian memaparkan tiga substansi utama yakni, unexplained wealth sebagai salah satu aset yang dapat dirampas untuk negara, hukum acara perampasan aset, dan pengelolaan aset.