JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah aktivis dan masyarakat memberikan kesaksian dugaan kriminalisasi yang dialaminya oleh aparat penegak hukum.
Kesaksian tersebut disampaikan secara daring dalam diskusi yang diadakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Selasa (9/2/2021).
Seorang aktivis berinisial SA menceritakan, dia ditangkap dan divonis penjara 9 bulan karena dinilai bersalah dalam kasus makar pada 2019.
Baca juga: Pemerintah Upayakan Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan
SA mengatakan, penyidik kepolisian Polda Metro Jaya berusaha mengarahkan SA sebagai auktor intelektualis pada kasus tersebut.
Sementara itu, SA mengaku tidak tahu-menahu tentang tuduhan yang disampaikan penyidik kepadanya, yakni pengibaran bendera Bintang Kejora saat aksi di depan Istana Merdeka pada 2019.
"Saya sempat ditahan di Rutan Mako Brimob, dan saya satu-satunya tahanan yang dimasukkan ke ruang isolasi saat itu. Saya sudah sampaikan pada penyidik bahwa saya tidak tahu menahu dari mana asal bendera Bintang Kejora, tidak ada perencanaan apa pun untuk pengibaran bendera, saya juga tidak memegang dan mengibarkan bendera Bintang Kejora," cerita SA.
Menurut SA, penyidik yang mengatasi kasusnya ingin mengarahkan bahwa demonstrasi damai yang dilakukan SA memicu kerusuhan di Papua.
"Padahal tidak. Kejadian di Papua itu dipicu rasisme yang terjadi di Surabaya. Akan tetapi aparat tidak memakai pisau analisis hukum, tetapi pisau politik, bahwa kami di Jakarta adalah kelompok yang memberikan sumbangsih pada hiruk-pikuk kerusuhan di Manokwari, Sorong, Papua. Padahal aksi itu sudah dilakukan sebelum aksi kami lakukan," ujar dia.
Selain SA, ada DP, seorang warga yang divonis majelis hakim PN Surabaya dengan kurungan penjara 2 bulan 15 hari karena dianggap melakukan perusakan aset milik perusahaan swasta di Waduk Sepat, 2018.
Baca juga: Kontras: Penyiksaan oleh Polisi Pratik Kejam Masa Otoriter yang Harus Ditinggalkan
DP menyebut bahwa dia tidak pernah melakukan perusakan.
Bahkan, ketika menengok kedalam Waduk Sepat, dengan beberapa warga yang lain, DP juga ditemani oleh pihak polsek setempat dan petugas keamanan dari perusahaan swasta tersebut.
"Saat itu semua tahu bahwa memang ada kerusakan di pintu air Waduk Sepat. Bukan saya yang merusak, bahkan saksi-saksi yang didatangkan di persidangan tidak ada yang mengatakan bahwa saya yang melakukan perusakan," tutur DP.
Kasus yang dialami DP pun cukup unik. Ia mengaku tak juga dibebaskan dari Rutan Medaeng, Sidoarjo, Jawa Timur saat masa tahanannya sudah berakhir.
Saat itu, ia mengaku tak dibebaskan karena jaksa masih mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Surabaya .
"Saya baru dilepas tiga hari setelah masa tahanan saya habis. Jadi saya saat itu beberapa hari di dalam rutan tanpa kepastian hukum," ucap dia.
Baca juga: Komnas HAM Minta Kapolri Buat Kebijakan Zero Tolerance Praktik Penyiksaan oleh Oknum Polisi
Proses kriminalisasi diduga juga didapatkan oleh seorang warga berinisial MS di Sulawesi Selatan.
Pada tahun 2017, MS ditangkap bersama tiga orang temannya oleh Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) karena dianggap melakukan pelanggaran pidana kehutanan.
Saat itu, MS mengaku hanya sedang menebang pohon di kebunnya sendiri.
"Kami saat itu dituntut 13 bulan penjara, tetapi saat itu majelis hakim kemutuskan bahwa kami di vonis bebas," kata MS.
Baca juga: Tahanan Tewas di Polresta Balikpapan, Komnas HAM Kecam Dugaan Penyiksaan oleh Aparat
Kesaksian ketiganya itu terdapat dalam Laporan Penelitian Praktik Penahanan di Indonesia yang dilakukan YLBHI.
Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Era Purnama Sari menyebutkan bahwa hasil penelitian tersebut akan diluncurkan pada Kamis (11/2/2021) mendatang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.