JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yang diajukan oleh PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada Kamis (14/1/2021).
Adapun salah satu alasan Inews dan RCTI mengajukan gugatan adalah karena Pasal 1 Angka 2 dalam UU Penyiaran menimbulkan perlakuan berbeda antara siaran konvensional dengan siaran internet, seperti YouTube dan Netflix.
Jika gugatan ini diterima, banyak pihak yang memprediksi akan berdampak terhadap pengisi konten di platform digital, seperti pembuat konten YouTube alias Youtuber, atau Netflix. Salah satunya terkait pengaturan sesuai UU Penyiaran.
Baca juga: MK Tolak Gugatan Inews TV dan RCTI soal UU Penyiaran, Dianggap Tak Berdasar
Namun, MK kemudian menolak gugatan uji materi itu. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan, sebenarnya aturan-aturan terkait siaran terbarukan sudah mengacu atau diatur dalam UU ITE.
"Selain pengawasan terhadap konten layanan OTT (over the top) dilakukan berdasarkan UU ITE, juga didasarkan pada berbagai UU sektoral lainnya sesuai dengan konten layanan OTT yang dilanggar," kata Enny dalam sidang putusan yang disiarkan secara daring, Kamis (14/1/2021).
Terkait adanya dalil mengenai sanksi bagi OTT, Enny mengatakan hal tersebut juga sudah diatur dalam UU ITE berupa sanksi administratif dan pemutusan akses.
Baca juga: Gugat UU Penyiaran, RCTI dan iNews TV Tegaskan Tak Berniat Persulit Kreator Konten
Selain itu, sanksi juga diatur dalam UU lain yang berkaitan dengan pelanggaran konten OTT.
"Apabila tindak pidana menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak maka pemidanaannya diperberat dengan sepertiga dari pidana pokok," ujarnya.
"Pemberatan ini juga diperberat bagi korporasi yang melanggar perbuatan yang dilarang dalam UU 11 Tahun 2008 yang dipidana dengan pidana pokok ditambah 2/3," kata Enny.
Oleh karena itu, Majelis Hakim Konstitusi menilai dalil gugatan permohon tidak berdasar seluruhnya.
Hal itu menyebabkan pengaturan terkait YouTube dan Netflix akan tetap berlaku sebagaimana sebelum adanya gugatan.
Sebelumnya, pihak Inews TV dan RCTI mempersoalkan Pasal 1 angka 2 UU tersebut yang menyebut bahwa "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran".
Baca juga: Ini Alasan RCTI dan iNews TV Ajukan Uji Materi UU Penyiaran ke MK
Oleh pemohon, pasal itu dinilai menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti YouTube serta Netflix.
Hal ini karena Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tak mengatur pengelenggara penyiaran terbarukan.
"Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT (over the top) a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran," kata Kuasa Hukum pemohon, Imam Nasef, dalam sidang pendahuluan yang digelar Senin (22/6/2020) di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Baca juga: RCTI dan iNews Gugat UU Penyiaran ke MK karena Tak Atur YouTube hingga Netflix
Dalam gugatannya, pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal, misalnya, untuk dapat melakukan aktivitas penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia hingga memperoleh izin siaran.
Sementara itu, penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak perlu memenuhi persyaratan tersebut.
Selain itu, dalam menyelenggarakan aktivitas penyiaran, pemohon juga harus tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS).
Jika terjadi pelanggaran, ada ancaman sanksi yang bakal diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.