JAKARTA, KOMPAS.com - Corporate Legal Director MNC Group Chistophorus Taufik mengungkap alasan mengapa PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) mengajukan uji materi terkait Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasannya, menurut dia, karena ada kebutuhan mendesak untuk pengaturan persuasif beberapa konten melalui internet.
"Latar belakang diajukannya uji materi adalah adanya kebutuhan yang dirasakan mendesak untuk pengaturan secara lebih persuasif untuk berbagai konten yang disalurkan lewat internet," kata Taufik kepada Kompas.com, Jumat (28/8/2020).
Taufik mengatakan, platform internet sebenarnya sudah memiliki aturan yakni melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Serta Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 13 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Jasa Komunikasi.
Namun, aturan itu hanya sebatas sanksi pidana atau pemblokiran konten yang dipublikasikan.
"Pengaturan konten secara persuasif dimungkinkan lewat UU Penyiaran, karena rezim konten ada di sini. Oleh karenanya, kami minta MK untuk menafsirkan penyiaran adalah juga menyangkut platform internet," ujarnya.
Baca juga: 4 Fakta soal Gugatan RCTI atas UU Penyiaran dan Potensi Dampaknya
Taufik juga menilai UU ITE dan Permenkominfo Nomor 13 Tahun 2019 kurang kekinian sehingga perlu ada yang diatur dalam UU Penyiaran.
Ia pun menegaskan, pihak RCTI dan iNews TV hanya ingin ada kesetaraan atau keadilan antara penyiaran konvensional berbasis frekuensi publik dengan platform internet.
"Bukan harus sama, tapi tidak fair jika platform internet harus dihadapkan dengan blokir dan sanksi pidana," ucap dia.
Diberitakan sebelumnya, permohonan uji materiil UU Penyiaran diajukan oleh RCTI dan iNews TV.
Pihak pemohon menggugat Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang menyebut, “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran."
Pemohon menilai pasal itu menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio, dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti YouTube dan Netflix.
Baca juga: RCTI dan Inews Gugat UU Penyiaran ke MK karena Tak Atur YouTube hingga Netflix
Sebab, Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tak mengatur pengelenggara penyiaran terbarukan.
Oleh sebab itu, pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut tak kekuatan hukum tetap sepanjang tidak mengatur penyelenggara penyiaran berbasis internet untuk tunduk pada pasal tersebut.
Namun, menurut pemerintah, jika permohonan itu dikabulkan masyarakat tidak akan bisa lagi mengakses media sosial secara bebas.
Sebab, layanan over the top (OTT) yang menggunakan internet akan disamakan dengan layanan penyiaran.
Sehingga, tayangan audio visual akan diklasifikasikan sebagai kegiatan penyiaran yang harus memiliki izin siar.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.