JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Mohammad Choirul Anam mempunyai seabrek kenangan terhadap sosok almarhum pejuang HAM, Munir Said Thalib.
Keduanya bisa dibilang memiliki hubungan yang cukup emosional.
Interaksi Anam dengan Munir cukup intens ketika ia masih bergelut sebagai volunteer Divisi Buruh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang sekira 1999-2000.
Pada periode tersebut, Munir sudah aktif di Jakarta. Namun, jarak yang membentang di antaranya keduanya tak menyurutkan perkawanan keduanya.
Beberapa kali Munir pulang ke Malang, Anam menjumpainya untuk mendiskusikan permasalahan yang dialami buruh, petani, hingga kaum miskin Kota Malang.
Baca juga: 16 Tahun Pembunuhan Munir, Pengusutan Diminta Tak Berhenti pada Aktor Lapangan
Dalam tiap pertemuannya, ia selalu meminta saran kepada Munir untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi kaum tertindas.
Melalui sebuah diskusi, Anam cukup kaget jika ternyata Munir bukan seorang teorik kelas berat ketika membongkar sebuah persoalan.
"Beberapa kali saya tanya, "kalau mendampingi buruh bagaimana caranya? Dengan petani bagaimana caranya?". Satu hal yang saya harapkan adalah penjelasan yang sangat kompleks dan teoritik, kelas berat. Tapi yang dijelasin malah begitu," ujar Anam dalam webinar "Munir: 16 Tahun Keadilan Lockdown", Senin (7/9/2020).
"Dia bilang, "yang penting ajak nongkrong, temenin, apapun yang dia bilang dengarkan, belajarlah dari mereka, belajarlah dari keuletan mereka, rasakan pedih mereka, jangan hanya pakai UU, kamu", gitu," ungkap pria kelahiran Malang, 25 April 1077 tersebut.
Baca juga: 16 Tahun Pembunuhan Munir, Komnas HAM Diminta Lakukan Penyelidikan Pro Justitia
Rentetan jawaban yang dikeluarkan Munir membuat Anam kaget. Pasalnya, Munir hanya menganjurkan memecahkan persoalan dengan mendengarkan hal sederhana.
Ia mengatakan, bahwa Munir menginginkan agar menyelesaikan persoalan kaum tertindas jangan melulu berkerangka pada Undang-Undang (UU). Jika itu dilakukan, justru akan memenjarakan langkah perjuangan.
"Waktu itu, dalam benak, saya menolak jawaban-jawaban itu, walaupun saya nggak bisa melawan argumentasinya, tapi saya lakukan," kata Anam.
Anam baru menyadari saran Munir ketika keduanya sering bersama-sama bepergian menggunakan kereta api dari Malang menuju Jakarta, begitu juga sebaliknya.
Setiap tiba di stasiun, Munir selalui menjumpai petugas peron maupun menemui pedagang loakan di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur.
Baca juga: Mengenang 16 Tahun Wafatnya Munir, Pejuang Kemanusiaan
Dalam interaksi dengan masyarakat bawah tersebut, ia sadar jika Munir tengah menunjukan betapa banyaknya peraturan yang tak sesuai fakta di lapangan.