JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Pekerja (Aspek) Indonesia mengingatkan pekerja kerah putih atau kantoran untuk menyadari ancaman omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.
Menurut dia, RUU Cipta Kerja tak hanya akan mengancam para pekerja industri, tetapi juga akan berdampak pada pekerja kantoran.
"Pekerja perkantoran memang harus terus diingatkan, bahwa RUU Cipta Kerja tidak hanya mengancam mereka, tapi juga generasi mereka," ujar Ketua Umum Aspek Indonesia Mirah Sumirat saat dihubungi Kompas.com, Selasa (18/8/2020).
Baca juga: Sambut Hari Kemerdekaan, Buruh Ketenagalistrikan Luncurkan Poster Tolak Omnibus Law
Mirah menilai, pekerja kantoran selama ini terkesan pasif terhadap isu RUU Cipta Kerja.
Menurut dia, hal itu terjadi karena pekerja perkantoran sudah berada dalam "zona nyaman" dengan adanya gaji besar.
Ditambah, selama ini mereka kurang memahami mengenai esensi perjuangan yang dapat dituangkan dalam serikat pekerja maupun organisasi.
Dengan tidak adanya akses tersebut, pekerja kantoran cenderung melewatkan isu RUU Cipta Kerja.
Di sisi lain, pihaknya tak mau berdiam diri. Ia pun mengajak semua pihak yang selama ini menolak RUU Cipta Kerja agar semakin memasifkan lagi kampanye penolakannya.
Hal itu dilakukan supaya pesan kampanye penolakan tersebut dapat diterima oleh kelompok pekerja perkantoran.
"Kampanye itu bisa dilakukan lewat media sosial. Saya kira mereka itu lebih aktif di media sosial, jadi kampanye lebih digencarkan lagi supaya bisa menarik pekerja perkantoran," kata dia.
Baca juga: Seputar Aksi Tolak Omnibus Law, Nyaris Bentrok di UIN Sunan Kalijaga hingga Kantor Ganjar Disita
Berdasarkan catatan Kompas.com, terdapat sejumlah pasal kontroversi dalam RUU Cipa Kerja yang terbagi menjadi 11 klaster.
Adapun klaster ketenagakerjaan yang tertuang dalam BAB IV paling banyak disoroti publik.
Bab tentang ketenagakerjaan ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru atas beberapa ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Pengubahan, penghapusan, atau penetapan aturan baru itu dikatakan dalam draf RUU Cipta Kerja sebagai, "Dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi.”
Mengenai waktu istirahat, misalnya, RUU Cipta Kerja menghapus libur mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja. RUU ini menghapus pula cuti panjang dua bulan per enam tahun.
Pada Pasal 79 Ayat (2) poin b RUU itu disebutkan bahwa istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
Adapun pengaturan mengenai cuti panjang dalam RUU Cipta Kerja termaktub dalam Pasal 79 ayat (5).
Cuti panjang disebut akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Kemudian, RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan pengupahan yang melindungi pekerja atau buruh.
Artinya, semangat perhitungan upah untuk pencapaian kebutuhan hidup layak menjadi hilang.
Baca juga: DPR dan Serikat Pekerja Bentuk Tim Perumus Pembahasan RUU Cipta Kerja
Ketentuan pengupahan dalam RUU Cipta Kerja diatur dalam pasal 88A yang menyebutkan, buruh atau pekerja diupah berdasarkan kesepakatan atau perundang-undangan. Penetapan upah dalam pasal 88B didasarkan pada satuan waktu dan hasil.
RUU Cipta Kerja mengubah pula ketentuan jangka waktu untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Melalui Pasal 56 Ayat (3), RUU Cipta Kerja mengatur bahwa jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.
RUU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang mengatur pembatasan jenis pekerjaan dan jangka waktu yang bisa diikat dengan kontrak kerja.
Kemudian, RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 61 yang salah satunya mengatur bahwa perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Klausul ini sebelumnya tidak dimuat dalam UU Ketenagakerjaan.
RUU Cipta Kerja, lewat Pasal 61A, menambahkan ketentuan pengusaha wajib memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir karena berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja dan selesainya pekerjaan.
Aturan tentang perjanjian kerja dalam RUU Cipta Kerja ini dinilai akan merugikan pekerja karena relasi kuasa yang timpang dalam pembuatan kesepakatan.
Baca juga: Saat Artis Ramai-ramai Minta Maaf Usai Promosikan RUU Cipta Kerja...
Jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang bahkan bisa membuat status kontrak menjadi abadi.
Ketentuan mengenai perjanjian kerja PKWT dapat berakhir saat pekerjaan selesai juga membuat pekerja rentan di-PHK, karena pengusaha dapat menentukan sepihak pekerjaan berakhir.
Pengusaha dapat sewaktu-waktu mem-PHK pekerja kontrak asalkan memberi kompensasi sesuai ketentuan tambahan dalam pasal 61A, yang tidak ada dalam UU Ketenagakerjaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.