Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

LPSK: Pelaku Perdagangan Orang juga Lakukan Pemalsuan Dokumen

Kompas.com - 03/08/2020, 14:22 WIB
Achmad Nasrudin Yahya,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkapkan, para pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) juga memalsukan dokumen agar dapat mempekerjakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) non-prosedural.

"Pemalsuan dokumen merupakan salah satu cara pelaku TPPO mempermudah para korban dipekerjakan," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi dalam keterangan tertulis, Senin (3/8/2020).

Edwin menjelaskan pemalsuan dokumen tersebut meliputi KTP, paspor, dan buku pelayar umum dialami para korban perdagangan orang.

Terlebih, pada Juni 2020, Polda Metro Jaya juga mengungkap adanya pemalsuan sertifikat pelaut.

Baca juga: Penempatan Pekerja Migran Dibuka Lagi, RI Bisa Kantongi Devisa Rp 3,8 T

Hal itu juga semakin membuktikan bahwa pelaku TPPO menyasar pada pemalsuan dokumen para korbannya.

Ditambah, dari sekian banyak PMI yang mengalami kasus di luar negeri, hanya 25 persen yang diberangkatkan lewat agen resmi.

"Artinya, sebagian besar PMI yang bermasalah telah dimulai dari proses pengirimannya yang non-prosedural," kata Edwin.

Edwin menuturkan, berdasarkan penulusuran LPSK, alasan mereka menjadi PMI sendiri karena kurang mendapat kesempatan kerja di dalam negeri.

Tak hanya itu, mereka juga tergiur dengan upah yang lebih tinggi di luar negeri.

Baca juga: BP2MI Selamatkan Rp 13,73 Miliar Hak Pekerja Migran Indonesia

Dengan begitu, mereka beranggapan akan ada dampak positif terhadap aspek sosial ekonomi rumah tangga. Termasuk meningkatkan prospek kerja jangka panjang.

Diberitakan sebelumnya, LPSK mencatat, terdapat 704 korban TPPO yang mengajukan permohonan perlindungan sejak 2015.

"Total, sebanyak 704 jumlah korban TPPO yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK sejak 2015 hingga Juni 2020," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi dalam keterangan tertulis, Senin (3/8/2020).

Secara akumulasi, angka permohonan perlindungan korban TPPO setiap tahunnya menunjukkan kenaikan.

Adapun dari total korban tersebut terdiri dari 438 wanita dan 266 pria.

 

Di antara korban tersebut, 147 korban merupakan perempuan dengan status masih anak-anak.

"Bila dilihat domisili korban TPPO, Provinsi Jawa Barat berada pada posisi teratas dengan angka 28,98 persen, diikuti DKI Jakarta 14,77 persen, dan NTT 8,24 persen," kata Edwin.

Edwin mengatakan bahwa memerangi perdagangan manusia bukanlah hal yang mudah.

Hal itu tak lepas karena sifat tersembunyi dari perdagangan manusia nyaris tidak mungkin untuk memahami ruang lingkup permasalahan tersebut.

Terlebih, situasi saat ini tengah dalam kondisi pandemi Covid-19.

Bahkan, lanjut Edwin, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri mengkhawatirkan Covid-19 membuat tugas mengidentifikasi korban perdagangan manusia semakin sulit.

 

Karena, mereka berpotensi terkena virus, minim pencegahannya dan memiliki sedikit akses kesehatan untuk memastikan pemulihan mereka.

"Menjadi tantangan dari situasi itu ialah karena negara-negara menyesuaikan prioritas mereka selama pandemi," terang Edwin.

Edwin menambahkan, saat ini, Indonesia mengalami surplus demografi dengan angka usia produktifnya sebesar 68 persen dari 267 juta penduduk yang merujuk data kependudukan pada 2019.

Maka dari itu, tak bisa dipungkiri beberapa di antaranya menjadi korban TPPO.

"Perbudakan modern yang dialami warga Indonesia tidak hanya terjadi di dalam negeri, namun juga di luar negeri. Jenis pekerjaan para korban dari dunia hiburan, ABK, pertanian, dan asisten rumah tangga hingga lakukan transplantasi ginjal," ucap Edwin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com