PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) di 270 wilayah di Indonesia yang tetap digelar tahun ini unik. Bukan lagi soal perdebatan perlu atau tidaknya menggelar Pilkada di tengah Pandemi Covid-19 yang masih mengemuka, tapi soal siapa yang muncul naik Gelanggang.
Bahkan diperkirakan, Pilkada tahun ini akan menjadi ajang Pilkada dengan kandidat yang memiliki hubungan kerabat dengan pejabat negara terbanyak sepanjang sejarah.
Apakah ini terkait dengan Pemilu 2024?
Saya tertarik mendapat jawabannya. Saya melakukan riset pendahuluan. Sebagian saya tampilkan datanya di Program AIMAN yang tayang setiap Senin pukul 20.00 di KompasTV. Sebagian lainnya tentu saya simpan untuk dicek kebenarannya di lain kesempatan.
Memang Pilkada ini masih panjang prosesnya. Bulan Agustus mulai dibuka pendaftarannya. Nama-nama akan diproses dan ditetapkan secara resmi pada 6 September 2020 mendatang. Kampanye selama 3 bulan akan mulai digelar pada bulan yang sama.
Riuh rendah Pilkada sulit untuk terhindar. Bukan hanya soal calon yang tersingkir yang kecewa, siapa mereka, dan bagaimana cara berkampanye akan menjadi perhatian utama.
Setidaknya dua Partai telah secara resmi mengumumkan nama-nama calonnya, yaitu PDI Perjuangan dan Partai Gerindra.
Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, Jumat (17/7/2020), telah mengumumkan 45 pasangan calonnya. Selang 3 hari kemudian, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengumumkan pula pasangan calon dari partainya.
Prabowo hanya mengumumkan nama calon dari satu daerah, yakni Kota Tangerang Selatan. Keponakannya, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, dicalonkan menjadi pimpinan kota yang berbatasan langsung dengan Jakarta ini.
Ada sejumlah nama yang dijagokan PDI-P menjadi sorotan. Di antaranya adalah putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dan Hanindhito Himawan Pramono, putra dari orang dekat Jokowi, yakni Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Ramai, terlontar, dan gaduh soal politik dinasti atas suara-suara ini. Gibran dalam sebuah diskusi virtual "Anak Muda Berpolitik, Siapa Takut”, Jumat (24/7/2020), mengatakan, "Di kota saya, di Solo ini, selalu saya jelaskan apa itu dinasti politik. Saya ini kan ikut kontestasi, bisa menang, bisa kalah!"
"Jadi, tidak ada kewajiban untuk mencoblos saya. (Pilkada) ini kan kontestasi, bukan penunjukan. Jadi, kalau yang namanya dinasti politik, di mana dinasti politiknya? Saya juga bingung kalau orang bertanya seperti itu. Kita tahu yang meributkan itu siapa, dan yang diributkan itu-itu saja. itu-itu saja!" lanjut Gibran.
Jokowi mengemukakan hal serupa. Ia menyatakan ini sejak awal kabar beredar soal Gibran dan menantunya, Bobby Nasution, hendak maju ke gelanggang Pilkada.
“Siapa pun punya hak pilih dan dipilih. Ya kalau rakyat enggak memilih gimana. Ini kompetisi, bukan penunjukan. Beda. Tolong dibedakan," kata Jokowi seusai meresmikan Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek, Kamis (12/12/2019).
Memang sepintas politik berbasis kekerabatan sah dilakukan. Tak ada peraturan yang dilanggar.
Di Amerika, negara yang menjadi rujukan demokrasi, politik dinasti juga terjadi. Sebut saja klan Bush dan Kennedy. Dua keluarga itu sejak lebih dari 100 tahun lalu berkiprah di politik nasional maupun daerah (negara bagian) di sana.
Lalu apa bedanya?
Peneliti Transparansi Internasional Indonesia (TII) Danang Widoyoko memiliki pendapat berbeda. Sungguh beda apa yang terjadi di Amerika dan Indonesia, katanya, saat diwawancara Program AIMAN, dengan topik "Terjerat Politik Kerabat".
Menurut Danang, di Amerika semua berlangsung transparan.
"Patron yang dihasilkan dari politik kerabat di Amerika muncul dalam sebuah ruang terbuka, dalam proses pemerintahan yang terbuka dan sangat sulit untuk dilakukan tindakan koruptif di sana. Saya tidak menuduh semua dinasti politik akan berujung pada korupsi," ungkap Danang.
"Tetapi dinasti politik, berbicara soal patron-klien dalam lingkup kekuasaan. Di mana Patron (kepala daerah) memiliki kekuasaan dan semua proses pelaksanaan APBN dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN). Ada keuntungan yang didapat untuk mengarahkan pada tujuan tertentu pada klien (pendukungnya). Meski secara legal, bisa jadi sulit untuk dibuktikan," kata Danang.
Memang tak ada yang dilanggar. Semua sah untuk dilakukan karena berdasar pada peraturan yang ada. Tapi, perlu diingat satu pesan: jangan abaikan keadilan.
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.