Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Kesederhanaan Hoegeng, Menolak Pengawalan dan Mobil Dinas

Kompas.com - 14/07/2020, 14:38 WIB
Ardito Ramadhan,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - "Sederhana", barangkali kata itulah yang pertama muncul di kepala saat membaca atau mendengar nama Hoegeng Iman Santoso, Kapolri pada periode 1968-1971.

Cerita kesederhanaan Hoegeng nyatanya tak dimulai sejak Hoegeng menjadi orang nomor satu di Korps Bhayangkara melainkan juga saat Hoegeng menjabat Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet pada Maret 1966-Juli 1966, dua tahun sebelum dilantik sebagai Kapolri.

Dalam buku berjudul Hoegeng, Polisi, dan Menteri Teladan (2013) yang ditulis Suhartono, selaku Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet, Hoegeng berhak memperoleh pengawalan pribadi baik di kantor dan di rumahnya.

Namun, tawaran itu ditolaknya secara halus.

Baca juga: Mengenang Jenderal Hoegeng, Kapolri Jujur dan Teladan Bhayangkara...

Kepada sekretarisnya, Soedharto Martopoespito, Hoegeng beralasan, dia tetap bisa bekerja dengan baik meskipun tanpa pengawalan yang diberikan oleh negara.

"Hidup Hoegeng berserah saja, tak perlu dikawal-kawal. Kalau Hoegeng mau mati, ya mati saja. Tidak usah pakai pengawal atau penjaga di rumah," kata Hoegeng.

Hoegeng juga menolak tawaran pengawalan di depan rumah yang menurutnya akan membuat teman-temannya tak berani berkunjung ke rumah.

"Nanti, teman-teman Hoegeng tidak ada yang berani berkunjung ke rumah karena harus lapor lebih dulu ke petugas penjaga. Jadi, tidak usah, Mas Dharto. Biar saja bebas," tuturnya.

Kebiasaan itu berlanjut ketika Hoegeng ditunjuk menjadi Wakil Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) dan Menteri/Pangak sebelum berubah nama menjadi Kapolri.

Baca juga: HUT Ke-74 Bhayangkara, Ketua MPR Ingatkan Polri Sosok Jenderal Hoegeng

Hanya ada dua ajudan dinas yang bergantian bertugas saat hari kerja dan staf ajudan yang membantunya sehari-hari.

Jenderal Hoegeng pun tak mengizinkan mereka mengenakan pakaian dinas kecuali ajudan dinas yang memang mendampinginya sehari-hari. Staf ajudan pun diminta hanya berpakaian preman.

Serah terima jabatan Kapolri antara Jenderal Hoegeng Iman Santoso kepada penggantinya Moh Hassan oleh Presiden Soeharto pada 1971.KOMPAS/PAT HENDRANTO Serah terima jabatan Kapolri antara Jenderal Hoegeng Iman Santoso kepada penggantinya Moh Hassan oleh Presiden Soeharto pada 1971.

Menolak mobil

Kesederhanaan Hoegeng juga terlihat ketika ia menolak mobil jenis Holden keluaran terbaru tahun 1965 yang diperuntukkan untuk keluarganya.

Selaku Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet, Hoegeng memang berhak dua buah mobil yakni mobil dinas dan mobil untuk keluarganya.

Hoegeng menolak mobil yang diperuntukkan untuk keluarganya karena ia telah menerima mobil dinas sebagai Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet serta mobil jeep Willis dari korpsnya di Kepolisian.

"Hoegeng mau simpang di mana lagi, Mas Dharto? Hoegeng tak punya garasi lagi?" kata Hoegeng beralasan kepada Soedharto.

Baca juga: Jenderal Hoegeng, Polisi Jujur yang Disebut Gus Dur dalam Humornya

Akhirnya, Hoegeng pun meminta agar mobil itu disimpan di rumah Dharto akibat ketentuan Sekretariat Negara.

Dharto pun rutin membersihkan dan memanasi mobil itu setiap hari. Suatu saat, Dharto juga sempat menjalankan mobil dinas Hoegeng supaya mesinnya tidak rusak.

Namun, Dharto justru kapok. Nomor plat mobilnya yang berkode khusus membuat Dharto diberi penghormatan oleh polisi yang bertugas di sepanjang jalan.

Baca juga: Gubernur Ganjar Usulkan Jenderal Hoegeng Jadi Pahlawan Nasional

Serahkan hadiah mobil ke teman

Beberapa minggu menjadi Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet, Hoegeng juga mendapat hadiah mobil Mazda "kotak" dari Dasaad Musin Concern, perusahaan pemegang lisensi beberapa merek mobil Eropa dan Jepang.

Dalam suratnya, Dasaad meneyebutkan Hoegeng mendapat fasilitas kendaraan untuk menjalankan tugas sebagai menteri.

Mobil itu dapat diambil di showroom mobil dengan syarat membawa surat pemberitahuan tersebut. Namun, Heogeng membiarkan surat itu tergeletak di meja kerjanya karena ia tak mau menerima gratifikasi.

Kapolri Jenderal Pol Drs. Hoegeng Imam Santoso (kanan) bersama Rektor ITB Prof Dr. Dody Tisna Amidjaja hadir dalam sidang pertama dan kedua dan II kasus penembakan 6 Oktober 1970 di pengadilan Bandung, 1 Desember 1970. Dalam percakapan-percakapan selesai sidang, ia menginginkan agar orang yang bersalah dalam peristiwa 6 Oktober dihukum.KOMPAS/Hendranto Kapolri Jenderal Pol Drs. Hoegeng Imam Santoso (kanan) bersama Rektor ITB Prof Dr. Dody Tisna Amidjaja hadir dalam sidang pertama dan kedua dan II kasus penembakan 6 Oktober 1970 di pengadilan Bandung, 1 Desember 1970. Dalam percakapan-percakapan selesai sidang, ia menginginkan agar orang yang bersalah dalam peristiwa 6 Oktober dihukum.
Seiring waktu berlalu, suatu hari Hoegeg seorang teman lamanya yang langsung memuji-muji Hoegeng setelah duduk di depan meja kerja Hoegeng.

"Selamat ya, Mas Hoegeng, Saiki penak, yo (Sekarang enak, ya). Wis dadi (Sudah jadi) menteri. Kabare (kabarnya) Mas Hoegeng entuk (dapat) mobil baru jenis Mazda saka (dari) Dasaad, yo (ya)," kata tamu itu.

Mendengar itu, Hoegeng tertegun sejenak lalu mengakui dan menunjukkan surat itu kepada sang tamu. Namun, kata Hoegeng, mobilnya belum ia ambil karena masih ia pertimbangkan.

"Sampeyan gelem (kamu mau)?" ujar Hoegeng menawarkan mobil tersebut kepada temannya.

Baca juga: Jenderal Hoegeng Jadi Nama Resmi Stadion di Pekalongan

Sang tamu langsung menjawab seraya mengambil dari tangan Hoegeng sambil berkata, "Yo, gelem wae (ya, mau saja) mas."

Surat hadiah mobil pun berpindah tangan dan sang tamu akhirnya pulang setelah berbincang ngalor-ngidul bersama Hoegeng.

Usai pertemuan itu, Hoegeng berkata kepada Dharto, "Mas Dharto, Hoegeng heran ya. Saiki (Sekarang), ada orang sing tego-tegone (yang tega-teganya) mau menerima mobil, padahal teman Hoegeng tadi hidupnya lebih kaya dari Hoegeng."

Baca juga: Belajar Kasih Sayang dan Kejujuran dari Jenderal Hoegeng dan Merry Roeslani

Hoegeng memang tak mau mengambil begitu saja hadiah tersebut. Ia justru mempertanyakan apakah ia pantas dan layak menerima hadiah mobil dari pengusaha yang beluk dikenalnya, apalagi hadiah itu berhubungan dengan jataban yang ia sandang.

"Dengan kejadian tersebut, barangkali Hoegeng diingatkan agar tidak perlu menerima hadiah mobil yang tak diketahui juntrungannya. Kejadian itu membuat Hoegeng bersyukur tidak menerima hadiah apa pun dari siapa pun apalagi terkait tugas dan jabatan Hoegeng," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com