Campur tangan itu ditunjukkan melalui adanya kewenangan pemerintah untuk mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) guna mengendalikan Dewan Pers dengan menempatkan Menteri Penerangan sebagai ketua secara ex-officio dan menetapkan hanya satu organisasi wartawan yang diakui.
Instrumen-instrumen itulah yang kemudian dipakai oleh pemerintah untuk mengendalikan dan mengekang pers.
Lahirnya Undang Undang Pers tahun 1999 memiliki semangat untuk mengoreksi praktik buruk pemerintah Orde Baru dalam mengekang pers.
Semangat itu tercermin antara lain dengan menegaskan kembali tak adanya sensor dan pembredelan, Dewan Pers yang dibentuk oleh komunitas pers dan tanpa ada wakil dari pemerintah seperti masa Orde Baru.
Undang-undang itu juga memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menyusun ketentuan lebih operasional dari undang-undang itu.
Artinya, kewenangan untuk mengimplementasikan undang-undang ini berada sepenuhnya di tangan Dewan Pers, bukan melalui peraturan pemerintah seperti dalam undang-undang pada umumnya.
Baca juga: Presiden Bisa Batalkan UU di RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Ray Rangkuti: Itu Otoriter!
Dengan membaca RUU Cipta Lapangan Kerja ini, yang di dalamnya ada usulan revisi agar ada Peraturan pemerintah yang mengatur soal pengenaan sanksi administratif, itu adalah bentuk kemunduran bagi kebebasan pers.
"Ini sama saja dengan menciptakan mekanisme 'pintu belakang' atau 'jalan tikus' bagi pemerintah untuk ikut campur urusan pers. Kami mengkhawatirkan hal buruk di masa Orde Baru akan terulang di mana pemerintah menggunakan dalih administratif untuk mengekang pers. Kami meminta revisi pasal ini dicabut," ujar Abdul.
Selain itu, insan pers juga menolak dinaikkannya sanksi denda bagi perusahaan pers.
Dalam usulannya, pemerintah mengajukan revisi soal sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13, menjadi paling banyak Rp 2 miliar –naik dari sebelumnya Rp 500 juta.
Pasal 5 ayat 1 mengatur tentang pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Baca juga: Serikat Pekerja Media Pertanyakan UU Pers Kena Dampak Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Pasal 5 ayat 2 berisi ketentuan soal pers wajib melayani Hak Jawab.
Pasal 13 mengatur soal larangan pemuatan iklan yang antara lain merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
"Kami mempertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400 persen, dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. Secara prinsip kami setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi atau mendidik," ujar Abdul.
"Dengan jumlah denda yang sebesar itu, kami menilai semangatnya lebih bernuansa balas dendam. Adanya sanksi sebesar itu juga bisa dijadikan alat baru untuk mengintimidasi pers. Oleh karena itu, kami meminta usulan revisi pasal ini dicabut," lanjut dia.
Insan pers juga menuntut konsistensi pemerintah dalam menerapkan Undang Undang Pers.