DUNIA pers dunia sedang mengalami transformasi yang signifikan sebagai akibat kemajuan teknologi dalam jaringan (online) yang berujung pada menurunnya minat orang membaca surat kabar cetak.
Sebuah artikel karya Alexandra Hudson yang dipublikasikan oleh Quillette pada Bulan Februari 2020 menyebutkan, perusahaan media lokal yang masih memakai publikasi tradisional tercetak sedang mencari model baru sebagai alternatif penyampaian informasi kepada publik.
Model tersebut melibatkan penerbitan berkala secara online sebagai pengganti percetakan manual, di samping masalah manajemen redaksional lainnya.
Sementara itu, saat ini banyak tokoh-tokoh yang menyatakan untuk meninggalkan media sosial dan kembali mencari informasi di website media massa konvensional.
Sebut saja Tony Fernandez, CEO Air Asia, yang memutuskan menutup akun media sosialnya di tahun 2020 ini. Juga, penulis Stephen King dan CEO Tesla Elon Musk melakukan hal yang sama.
Bahkan, hal itu terjadi pula pada Brian Acton yang dikenal sebagai eks CEO WhatsApp, layanan pesan yang justru berafiliasi dengan media sosial terpopuler saat ini, yaitu Facebook.
Acton mungkin punya alasan sendiri di balik penutupan akunnya yang berhubungan dengan sentimen bisnisnya dengan Facebook.
Namun, secara garis besar fenomena di atas mungkin terjadi karena orang-orang tersebut, yang memang hidup dalam masyarakat individualis dengan budaya literasi yang tinggi, mulai jengah dengan banyaknya beredar informasi di media sosial yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
Sementara masyarakat yang literate memiliki kecenderungan untuk mencari informasi yang detail dan terdukung oleh data yang krebibel. Mereka juga sangat sensitif dengan ketidakakuratan berita yang mereka dapatkan.
Situasi ini menjadi menarik apabila ditarik ke kondisi di Indonesia. Statistik penggunaan media digital dari We are Social yang dipublikasikan Hootsuite di awal 2020 menunjukkan penggunaan media sosial pada 2019 justru mengalami peningkatan sebesar 15 persen.
Pengguna aktif media sosial tercatat mencapai sekitar 150 juta orang atau 57 persen dari jumlah total populasi Indonesia.
Artinya, media sosial di Indonesia masih banyak diminati, terlepas dari banyaknya disinformasi dan hoaks yang mudah tersebar di dalamnya.
Hal ini mungkin terjadi karena media sosial di Indonesia seakan-akan menjadi ekstensi dari percakapan antar pribadi yang informal.
Dari hasil studi yang saya lakukan sejak 2015, didapat kenyataan bahwa rata-rata orang Indonesia memiliki tingkat kebiasaan membaca dan menelusuri informasi yang sangat rendah.
Rata-rata orang Indonesia mudah terpengaruh oleh pesan-pesan sensasional tanpa membaca lebih jauh informasi tersebut. Hal itu kemungkinan disebabkan budaya bangsa Indonesia yang masih dekat kepada orality.
Merujuk kepada pengertian orality atau oral culture dari Walter Ong, budaya ini lebih menyukai bentuk komunikasi lisan, terutama yang melibatkan opinion leader atau orang yang dianggap sesepuh, daripada membaca pesan dalam bentuk tulisan.
Kalaupun ada pesan tulisan yang digunakan, biasanya ditulis dalam bentuk bahasa obrolan, bukan formal apalagi ilmiah.
Selain itu, kebiasaan berbagi masalah keseharian dalam obrolan menunjukkan betapa bangsa Indonesia hidup dalam masyarakat kolektif.
Berbagai penelitian sosiologi dan antropologi menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan bangsa dengan budaya kolektivisme.
Hofstede Insights, sebuah lembaga penelitian yang mendedikasikan diri untuk menggunakan model 6 dimensions of national culture dari Geert Hofstede, menemukan bahwa skor untuk orang-orang Indonesia jauh di bawah standar nilai untuk kategori bangsa individualis.
Artinya, dapat dideteksi bahwa dalam kehidupan keseharian, bangsa Indonesia secara garis besar berada dalam kelompok kolektivis.
Ciri-ciri yang khas dari kelompok ini adalah kebiasaan untuk berkomunikasi dalam kelompok secara informal dan menjaga harmoni.
Ini yang menyebabkan bangsa Indonesia masih menyukai berkomunikasi via media sosial.
Statistik menunjukkan rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu 3 jam 26 menit dalam sehari untuk berselancar di media sosial.
Artinya, orang Indonesia masih sangat rentan untuk diterpa berita-berita mengandung disinformasi ataupun hoaks yang secara terus menerus diunggah oleh orang-orang tertentu dan disebarkan melalui fasilitas share.