Salin Artikel

Insan Pers Tolak Pemerintah Ikut Campuri Dunia Pers Lewat Omnibus Law

Dalam draf yang memuat 1.244 pasal itu, turut menyeret aturan pers guna merevisi dua pasal. Dua pasal tersebut adalah pasal 11 dan pasal 18.

Insan pekerja pers, yakni AJI, LBH Pers, PWI, hingga IJTI merasa keberatan dan mengecam masuknya dua pasal kegiatan pers ke dalam paket penyederhanaan aturan itu.

Revisi dalam Omnibus Law pada Pasal 11 sendiri berbunyi: "Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal".

Kemudian pasal 18 menyebutkan pemerintah menaikan empat kali lipat denda atas ayat 1 dan ayat 2 dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar.

Adapun revisi ayat 1 berbunyi: "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar".

Kemudian: "ayat 2 bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 5 ayat 1 dan ayat 2, serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar".

Lalu ayat 3 yang berbunyi: "Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat 2 dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif".

Terakhir ayat 4 yang berbunyi: "Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah".

Atas usulan revisi pasal UU Pers yang disodorkan pemerintah, AJI, IJTI, PWI dan LBH Pers pun telah bereaksi dan menyatakan sikap, sebagai berikut:

Menolak Campur Tangan Pemerintah

"Menolak adanya upaya pemerintah untuk campur tangan lagi dalam kehidupan pers," ujar Ketua Umum AJI Abdul Manan, salah satu insan pers.

Niat untuk campur tangan lagi ini terlihat dalam Ombnibus Law Cipta Kerja yang akan membuat peraturan pemerintah soal pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar pasal 9 dan pasal 12.

Pasal 9 memuat ketentuan soal perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Pasal 12 mengatur soal perusahaan pers yang wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawabnya secara terbuka.

Sementara Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini, dibentuk dengan semangat self regulatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya.

"Semangat itu tak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk di masa Orde Baru di mana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang pers," lanjut dia.

Campur tangan itu ditunjukkan melalui adanya kewenangan pemerintah untuk mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) guna mengendalikan Dewan Pers dengan menempatkan Menteri Penerangan sebagai ketua secara ex-officio dan menetapkan hanya satu organisasi wartawan yang diakui.

Instrumen-instrumen itulah yang kemudian dipakai oleh pemerintah untuk mengendalikan dan mengekang pers.

Lahirnya Undang Undang Pers tahun 1999 memiliki semangat untuk mengoreksi praktik buruk pemerintah Orde Baru dalam mengekang pers.

Semangat itu tercermin antara lain dengan menegaskan kembali tak adanya sensor dan pembredelan, Dewan Pers yang dibentuk oleh komunitas pers dan tanpa ada wakil dari pemerintah seperti masa Orde Baru.

Undang-undang itu juga memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menyusun ketentuan lebih operasional dari undang-undang itu.

Artinya, kewenangan untuk mengimplementasikan undang-undang ini berada sepenuhnya di tangan Dewan Pers, bukan melalui peraturan pemerintah seperti dalam undang-undang pada umumnya.

Dengan membaca RUU Cipta Lapangan Kerja ini, yang di dalamnya ada usulan revisi agar ada Peraturan pemerintah yang mengatur soal pengenaan sanksi administratif, itu adalah bentuk kemunduran bagi kebebasan pers.

"Ini sama saja dengan menciptakan mekanisme 'pintu belakang' atau 'jalan tikus' bagi pemerintah untuk ikut campur urusan pers. Kami mengkhawatirkan hal buruk di masa Orde Baru akan terulang di mana pemerintah menggunakan dalih administratif untuk mengekang pers. Kami meminta revisi pasal ini dicabut," ujar Abdul.

Menolak Kenaikan Sanksi

Selain itu, insan pers juga menolak dinaikkannya sanksi denda bagi perusahaan pers.
Dalam usulannya, pemerintah mengajukan revisi soal sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13, menjadi paling banyak Rp 2 miliar –naik dari sebelumnya Rp 500 juta.

Pasal 5 ayat 1 mengatur tentang pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

Pasal 5 ayat 2 berisi ketentuan soal pers wajib melayani Hak Jawab.

Pasal 13 mengatur soal larangan pemuatan iklan yang antara lain merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.

"Kami mempertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400 persen, dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. Secara prinsip kami setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi atau mendidik," ujar Abdul.

"Dengan jumlah denda yang sebesar itu, kami menilai semangatnya lebih bernuansa balas dendam. Adanya sanksi sebesar itu juga bisa dijadikan alat baru untuk mengintimidasi pers. Oleh karena itu, kami meminta usulan revisi pasal ini dicabut," lanjut dia.

Tuntut Konsistensi Pemerintah

Insan pers juga menuntut konsistensi pemerintah dalam menerapkan Undang Undang Pers.

"Kami menilai bahwa undang-undang itu selama ini dinilai masih memadai untuk melindungi kebebasan pers asalkan dilaksanakan dengan konsisten," ujar Abdul.

Menaikkan sanksi denda bagi orang yang melanggar pasal 4 ayat 2 dan 3, menurut Abdul dan kawan-kawan, bukan solusi untuk menegakkan UU Pers.

Ayat 2 diketahui mengatur soal "Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran".

Ayat 3 berisi jaminan bagi "pers nasional dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi".

Menurut insan pers, yang lebih utama adalah bagaimana konsistensi dalam implementasinya.

Selama ini, tindakan orang yang dinilai melanggar dua ayat itu antara lain berupa kekerasan terhadap wartawan saat menjalankan tugasnya.

Tindakan itu dikategorikan sebagai melanggar pasal 4 ayat 3 Undang Undang Pers, tapi juga masuk kategori pidana dalam KUHP.

Selama ini para pelaku kekerasan terhadap wartawan itu lebih sering dijerat dengan KUHP, yang hukumannya lebih ringan.

"Jika aparat penegak hukum ingin melindungi kebebasan pers, mereka harusnya menggunakan Undang Undang Pers yang sanksinya lebih berat, yaitu bisa dikenai 2 tahun penjara atau denda Rp 500 juta," ujar Abdul.

"Jika sanksi yang sudah ada selama ini saja jarang dipakai, menjadi pertanyaan bagi kami untuk apa pemerintah mengusulkan revisi terhadap pasal ini? Kami menangkap kesan pemerintah seperti menjalankan politik lip service, pencitraan, untuk mengesankan melindungi kebebasan pers, dengan cara menaikkan jenis sanksi denda ini," lanjut dia.

Bagi insan pers, yang jauh lebih substantif yang bisa dilakukan pemerintah adalah konsistensi dalam implementasi penegakan hukum Undang Undang Pers.

https://nasional.kompas.com/read/2020/02/16/20343421/insan-pers-tolak-pemerintah-ikut-campuri-dunia-pers-lewat-omnibus-law

Terkini Lainnya

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke