Di antaranya RUU Kefarmasian, RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian dan RUU Ibu Kota Negara.
Pemerintah mengatakan, omnibus law UU ini dilakukan untuk mempermudah investasi di Indonesia.
Namun, pegiat HAM menilai omnibus law UU justru berpotensi mengancam HAM, terutama bagi kalangan perempuan.
Baca juga: Komnas HAM: Dewan Keamanan Nasional Mirip Kopkamtib di Rezim Orba
Koordinator Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi mengatakan, tidak ada kata perempuan dalam draf RUU yang akan di omnibus law.
Dia juga menilai hak perempuan semakin berkurang jika omnibus law tetap direalisasikan.
"Bahwa tidak ada satu pun pasal (yang terdapat) kata perempuan dalam RUU yang beredar," kata Ika dalam diskusi publik bertajuk 'Omnibus Law untuk Siapa?' di Kantor LBH Jakarta, Minggu (19/1/2020).
"Tidak ada satu kata pun yang menyebut perempuan sebagai tenaga kerja yang berkontribusi terhadap produksi," lanjut dia.
Menurut Ika, seharusnya ada beberapa kondisi pekerja perempuan yang harus diperhatikan dalam undang-undang pekerja yang baru. Salah satunya kondisi saat haid dan hamil.
"Orang hamil butuh perlakuan khusus karena tubuhnya berubah. Ini bertolak belakang dari logika industri dan investasi," ujar dia.
Selain itu mengancam hak perempuan,omnibus law juga dianggap berpotensi mengancam hak-hak buruh. Serta menimbulkan ketimpangan antar pekerja lokal dan asing.
Pada Senin (20/1/2020) para buruh menggelar aksi penolakan omnibus law di depan Gedung DPR.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Saiq Iqbal setidaknya ada enam alasan penolakan dari serikat buruh terkait dengan RUU Omnibus Law.
Pertama adalah hilangnya upah minimum. Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam.
Kedua, aturan mengenai pesangon dalam UU 13/2003 yang justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, yakni tunjangan PHK yang hanya enam bulan upah.
Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah.