JAKARTA, KOMPAS.com - Keraton Yogyakarta tercatat dalam sejarah pernah menempatkan seorang keturunan Tionghoa mengemban posisi bupati pada era Sri Sultan Hamengku Buwono III.
Dialah Tan Jin Sing, Bupati Nayoko di Keraton Yogyakarta yang menyandang gelar Raden Temenggung Secodiningrat.
Tan Jin Sing merupakan suami dari puteri tunggal Kapitan Tionghoa di Yogyakarta kala itu, Yap Sa Ting Ho, yang bernama U Li.
Posisinya semakin strategis setelah melanjutkan tongkat estafet sebagai kapitan setelah sang mertua mangkat.
Dengan posisi itu, Tan Jin Sing pun memimpin masyarakat Tionghoa di Yogyakarta.
Benny G Setiono dalam buku "Tionghoa Dalam Pusaran Politik" menyebutkan, Tan Jin Sing berhasil mengemban posisinya dengan baik setelah sang mertua meninggal.
Baca juga: Kisah John Lie, Perwira TNI Keturunan Tionghoa yang Kerap Lolos dari Kepungan Belanda
Sampai-sampai, masyarakat setempat mengenalnya sebagai sosok yang cakap dan pandai.
Tan Jin Sing dianggap mampu mengolaborasikan antara "ketajaman seorang Tionghoa" dan "kecerdikan orang Jawa".
Hal itu dapat dimaklumi. Mengingat, kecerdasan dan kecakapannya tak lepas dari keahliannya menguasai berbagai bahasa, mulai dari Melayu, Belanda, Inggris, Hokkian, Jawa kromo inggil dan ngoko.
"Orang-orang Eropa yang hidup pada zaman itu menggambarkan Tan Jin Sing sebagai seorang laki-laki yang benar-benar cerdas dan terampil," tulis Benny.
Menuju tampuk bupati
Pada 1810, Keraton Yogyakarta tengah didera pergumulan perebutan kekuasaan antara Sultan Hamengku Buwono III dan sang putera mahkota, Pangeran Suroyo.
Gubernur Jenderal HW Daendels yang tak menyukai watak kepemimpinan Sultan Sepuh, sebutan Sultan Hamengku Buwono III, turut nimbrung dalam perselisihan.
Sang Jenderal kemudian memaksa Sultan Sepuh menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Suroyo yang merupakan ayah Pangeran Diponegoro.
Setelah menempati posisi puncak di keraton, Pangeran Suroyo lalu disebut sebagai Kanjeng Sultan Mataram atau Sultan Raja.