Namun, pada 1811 atau menjelang peralihan roda pemerintahan Belanda ke Inggris, Sultan Sepuh berhasil merebut kembali posisinya dengan menyingkirkan Pangeran Suroyo.
Pada masa pergolakan inilah, Tan Jin Sing memutuskan terlibat dalam upaya Pangeran Suroyo merebut kembali takhta kesultanan.
Bahkan, Tan Jin Sing sampai berucap janji setia melalui pesan yang disampaikan oleh sang Paman, Oei Tek Biaw alias Tumenggung Reksonegoro.
Dukungan tersebut disambut gembira Pangeran Suroyo.
Baca juga: Peran Pers Tionghoa dalam Pergerakan Kemerdekaan RI
Melalui Residen Yogyakarta, John Crawfud, Tan Jin Sing berupaya menggalang dukungan dari pemerintahan Inggris pimpinan Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles.
Usaha mendapat dukungan dari Raffles pun berhasil, yang puncaknya mengantarkan Pangeran Suroyo menjadi Sultan Hamengku Buwono III.
Pelantikan dilakukan pada 20 Juni 1812 atau tiga setelah tentara Inggris menyerbu Yogyakarta.
Sementara itu, Sultan Sepuh diasingkan ke Pulau Penang, sebelum akhirnya pihak Belanda memindahkannya ke Ambon.
Keberhasilan Tan Jin Sing kemudian dibayar Sultan Hamengku Buwono III dan Inggris mengemban jabatan Bupati Nayoko.
Wilayahnya meliputi Pecinan atau Malioboro, Pajeksan, hingga Gondomanan.
"Tan Jin Sing yang sebelumnya memeluk Islam dengan mengucapkan kalimat syahadat, disunat, dan memotong kuncir, diberi gelar Raden Tumenggung Secodiningrat," catat Benny.
Menghadapi intrik keraton
Banyak kalangan di keraton ternyata merasa tidak senang dengan pengangkatan Tan Jin Sing. terutama Paku Alam I, Pangeran Haryo Notokusumo, salah seorang putra Sultan Hamengku Buwono I.
Ancaman dan intrik menghampiri Tan Jin Sing. Bahkan, Paku Alam I berencana meratakan sebuah permukiman Tionghoa. Namun, rencana itu bocor.
Posisi Tan Jin Sing akhirnya benar-benar terancam, tepatnya ketika Sultan Hamengku Buwono III meninggal pada 3 November 1814 dalam usia 43 tahun.