Tampuk kekuasaannya hanya seumur jagung, yakni 2 tahun.
Meninggalnya Sultan Hamengku Buwono III ternyata berdampak pada posisi Tan Jin Sing.
Sebab, Paku Alam I yang sedari awal senewen dengan Tan Jin Sing diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono IV.
Pengangkatan ini otomatis membuat posisi Tan Jin Sing semakin terjepit.
Sang Sultan pun mencoba menggiring berbagai isu menjurus fitnah yang mengarah pada Tan Jin Sing, antara lain dengan menyebar fitnah bahwa ia menunjukkan sikap angkuh dan congkak dengan menuntut hak untuk memiliki rombongan penari bedhaya.
"Dan yang paling menjijikkan adalah fitnah yang dilontarkan bahwa ia mengincar salah seorang selir dari almarhum Sultan," ucap Benny.
Baca juga: Menelusuri Sejarah Awal Masuknya Masyarakat Tionghoa di Indonesia...
Intrik yang mengarahnya ternyata menjadi puncak ketidaksukaan elite politik di lingkungan keraton.
Pada Desember 1824, Tan Jin Sing menerima surat penarikan tanah pengawasan oleh kesultanan. Surat ini menjadi pertanda dicabutnya posisi Tan Jin Sing dari Bupati Nayoko.
Kendati sudah tak memiliki posisi, Tan Jin Sing tetap bersimpati ketika terjadi Perang Diponegoro pada 1825-1830.
Ia bahkan memberikan kuda tunggangannya kepada Pangeran Diponegoro.
"Ia turut mendukungnya dengan mencarikan uang untuk membiayai perang tersebut," kata Benny.
Setahun kemudian, Tan Jin Sing meninggal dan jenazahnya dimakamkan di Rogocolo. Pemakamannya, tulis Benny, dihadiri ribuan pelayat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.