Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebut Pilkada Langsung Sangat Mahal, Kemendagri: Anggaran Daerah Bisa Habis Setelah Pemilihan

Kompas.com - 02/12/2019, 15:44 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Kewaspadaan Nasional Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akbar Ali mengatakan, anggaran daerah terkuras untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung.

Tak hanya itu, kepala daerah pun kesulitan menjalankan visi-misi pemerintah pusat karena dana terpakai separuh untuk pilkada, ditambah biaya rutin 75 persen yang tidak bisa diganggu gugat.

"Hampir 70-75 persen habis untuk rutin. Sisa 25 persen untuk belanja modal. Bisa dibayangkan jika pilkada langsung seperti apa," ujar Akbar saat membuka acara pemaparan hasil survei evaluasi Pemilu 2019 oleh Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) di Gedung LIPI, Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin (2/12/2019).

Baca juga: Tito Minta Polemik Pilkada Langsung dan Tak Langsung Dihentikan

Ia menyebutkan, anggaran daerah bisa terpakai 40-45 persen untuk pilkada sehingga ada beberapa kepala daerah yang mengungkapkan kepadanya bahwa dua hingga tiga tahun setelah pilkada sulit mengimplementasikan visi dan misi pemerintah pusat.

"Beberapa kepala daerah bilang jika setelah melaksanakan pilkada yakni sekitar dua hingga tiga ahun itu, APBD itu sulit untuk terjemahkan visi misi pemerintah, karena anggaran habis," tutur Akbar.

Sementara itu, lanjut dia, anggaran yang dikeluarkan oleh pasangan calon kepala daerah pun besar.

Rata-rata paslon yang mengikuti pilkada harus menyiapkan dana sekitar Rp 20 miliar.

"Untuk paslon itu sendiri mungkin rata-rata minimal sekitar Rp 20 miliar habis untuk pilkada," tambah Akbar.

Baca juga: Puan Harap Waktu Kampanye Pilkada Serentak Diperpendek Agar Efektif

Informasi tersebut ia dapatkan dari sejumlah kepala daerah, tokoh masyarakat, dan aparat keamanan.

Menurut Akbar, mereka menganggap anggaran daerah yang terkuras gara-gara pilkada bisa dihindari jika penyelenggaran pilkada tidak lagi dibuat langsung.

"Saat kami minta informasi dari sejumlah kepala daerah, sejumlah aparat keamanan, dan tokoh masyarakat, ada dampak positif jika pilkada tidak dilaksanakan secara langsung," katanya.

"Salah satunya menghindari hal yang terjadi saat pilkada langsung, yang mana anggaran daerah harus terkuras," lanjut Akbar.

Baca juga: Terkait Wacana Pilkada Tak Langsung, Sikap Golkar Tunggu Kajian

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian, mengatakan salah satu alasan dirinya mengusulkan evaluasi pilkada secara langsung adalah karena biaya politik yang tinggi.

Tito menjelaskan, biaya politik mahal itu mulai dari dana yang dikeluarkan Anggaran Pendapatan danBelanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatandan Belanja Daerah (APBD).

Selain itu, calon kepala daerah juga mengeluarkan biaya tinggi. Tito mengatakan, tidak ada yang gratis dalam pilkada langsung.

Ia mencontohkan, seorang calon bupati bisa mengeluarkan biaya sebesar Rp 30 miliar untuk ikut pilkada.

"Untuk jadi bupati kalau enggak punya Rp 30 miliar, enggak berani," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019) lalu.

Kompas TV Wacana mengubah pilkada langsung, menjadi tidak langsung dan selektif, muncul setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, menggelar rapat kerja dengan komisi II DPR. Dalam evaluasi mendagri, pilkada langsung memiliki mudarat, antara lain banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi sebagai akibat biaya politik yang mahal. Menurut Tito, perlu riset akademik untuk mengkaji dampak positif maupun negatif pilkada langsung. <br /> Wacana yang diutarakan oleh mendagri, menuai kritik dari kalangan dari presiden PKS, Sohibul Iman. Pemilihan kepala daerah melalui DPRD seperti di masa lalu, dinilai justru akan melanggengkan praktik oligarki kekuasaan. Gubernur Jateng yang juga politisi PDIP, Ganjar Pranowo, juga kurang setuju dengan wacana kembali ke pilkada tidak langsung. Menurut Ganjar, praktik suap perpotensi muncul kembali, jika pelaksanaan pilkada digelar tidak langsung. 9provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota, akan menggelar pilkada serentak tahun 2020. Selain dari sisi legislasi yang sudah mepet, wacana pilkada tidak langsung harus dikaji mendalam, karena berpotensi sebagai kemunduran demokrasi. Wacana pilkada tidak langsung muncul karena ada penilaian mendagri, bahwa pilkada langsung menimbulkan dampak konflik dan praktik korupsi akibat biaya politik yang tinggi. Sementara, pilkada tak langsung juga dinilai sebuah kemunduran demokrasi.<br /> <br /> Untuk membahasnya, di studio telah hadir ketua komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia. Direktur penataan daerah, otonomi khusus, dan dewan pertimbangan otonomi daerah kemendagri, Andi Bataralifu. Serta peneliti dari perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi, perludem, Fadil Ramadhani,
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

Nasional
Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

BrandzView
Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Nasional
Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Nasional
Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Nasional
Hasto: Di Tengah Panah 'Money Politic' dan 'Abuse of Power', PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Hasto: Di Tengah Panah "Money Politic" dan "Abuse of Power", PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Nasional
Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Nasional
Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Nasional
Hakim: Hinaan Rocky Gerung Bukan ke Pribadi Jokowi, tetapi kepada Kebijakan

Hakim: Hinaan Rocky Gerung Bukan ke Pribadi Jokowi, tetapi kepada Kebijakan

Nasional
Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com