Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antiklimaks Perppu KPK

Kompas.com - 02/11/2019, 09:28 WIB
Dani Prabowo,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo memastikan tak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi.

Sikap Kepala Negara ini menjadi antiklimaks setelah sebelumnya sempat berjanji menerbitkan perppu tersebut.

Janji itu disampaikan Jokowi usai bertemu puluhan tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).

Baca juga: Politisi PPP: Komisi III Apresiasi Jokowi yang Tak Terbitkan Perppu KPK

Mereka yang diundang antara lain mantan Ketua KPK Ery Riana Hadjapamekas, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang kini menjadi Menko Polhukam Mahfud MD, pakar hukum tata negara Feri Amsari dan Bivitri Susanti.

Dalam pertemuan yang berlangsung dua jam tersebut, Jokowi mengaku mendapat masukan untuk menerbitkan Perppu KPK untuk menjawab tuntutan mahasiswa.

"Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya masukan itu berupa perppu," kata Jokowi, saat itu.

Baca juga: Presiden Jokowi Tak Terbitkan Perppu, Ini Respons KPK

 

"Tentu saja ini kami hitung, kalkulasi dan nanti setelah itu akan kami putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore hari ini," imbuhnya.

Namun, Jokowi berubah pikiran.

Ia beralasan, menghormati proses uji materi terhadap UU yang dinilai sarat upaya pelemahan terhadap komisi antirasuah itu, yang kini sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi.

"Jangan ada uji materi ditimpa dengan keputusan lain. Saya kira, kita harus tahu sopan santun dalam ketatanegaraan," kata dia saat berbincang dengan awak media di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11/2019).

Baca juga: Alasan Jokowi Tak Keluarkan Perppu Dinilai Tak Tepat

Berikut perjalanan singkat revisi UU KPK:

Muncul tiba-tiba

Tak ada angin tak ada hujan, secara tiba-tiba Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengagendakan rapat paripurna pada Kamis (5/9/2019) untuk membahas usulan Badan Legislasi atas revisi UU KPK.

Sejak wacana itu menjadi polemik, Baleg tidak pernah mempublikasikan rapat pembahasan draf rancangan undang-undang.

Baca juga: Sempat Pertimbangkan Perppu KPK, Jokowi Dinilai Hanya Ingin Redam Kemarahan Publik

Ada beberapa poin yang menjadi polemik dalam revisi tersebut, seperti soal penyadapan, keberadaan dewan pengawas, kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3), hingga status kepegawaian KPK.

Poin perubahan ini tidak jauh berbeda dengan rekomendasi Panitia Angket DPR tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan KPK terkait hasil penyelidikan terkait pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diumumkan pada 2018.

Adapun substansi revisi yang disepakati menyangkut enam poin perubahan kedudukan dan kewenangan KPK.

Baca juga: Mahfud MD Dinilai Tak Cukup Kuat Dorong Jokowi Terbitkan Perppu KPK

Pertama, kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bersifat independen.

Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada UU ASN. Padahal, selama ini KPK diketahui sebagai lembaga ad hoc yang independen.

Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas.

Baca juga: Tak Akan Terbitkan Perppu, Jokowi Dinilai Berada di Barisan Perusak KPK

Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu, sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com