"Seingat saya, enggak ketemu kalau di saya. Saya ngasih 65 kok, Pak. Itu enggak bisa diproses," jawab Khasan.
Khasan mengungkapkan, pada awalnya ia heran mengapa Haris bisa masuk ke dalam seleksi tes wawancara.
Sebab, Haris pernah terkena sanksi disiplin PNS sehingga tak berhak ikut dalam seleksi wawancara.
Namun, akhirnya Khasan memutuskan tetap mewawancarai Haris dan menilai makalahnya sesuai wewenang dia selaku anggota Pansel.
Karena Haris pernah terkena sanksi disiplin, Khasan saat itu memberinya nilai 65, atau di bawah standar minimal untuk lolos dalam seleksi lanjutan.
"Makanya saya tulis catatan jangan dilanjutkan, itu tintanya warna biru. Saya menilainya di bawah 70. Drop, itu artinya sudah tidak bisa dilanjutkan. Itu sebagai sikap saya selaku pansel. Saya harus komitmen itu," kata dia.
Baca juga: Hakim Tipikor Tegaskan Jaksa KPK Tak Keliru soal Identitas Romy di Dakwaan
Khasan juga menduga ada upaya pihak tertentu untuk mengubah nilai Haris. Pada waktu itu ada salah satu panitia menghubungi dirinya.
Anggota panitia itu mengungkapkan kepadanya bahwa ada satu makalah calon yang belum dinilai.
Ia pun menginstruksikan orang tersebut datang menemuinya untuk membawa berkas itu agar dicek.
"Ada namanya Farid, bilang ini ada sisanya satu. Saya bilang tolong bawa makalahnya, datanglah ke saya, saya tanda tangan. Ternyata di belakangnya ada blanko (penilaian) kosong. Saya pikir itu untuk perangkapan," kata Khasan.
"Ternyata itu di akhir saya tahu itu modus melakukan katrol nilai, tetapi waktu itu dibilang untuk arsip, posisinya saat itu jelang pleno. Saya waktu itu kan sudah kabur pikirannya, saya tanda tangan. Saya pikir satu, ternyata rangkap, Pak," sambung dia.
Sementara itu, Kuspriyo mengatakan bahwa saat menilai Haris, ia memberikan skor antara 70 hingga 74. Berbeda dengan Khasan, Kuspriyo mengaku, tak ditemui oleh pihak tertentu.
Begitu mengetahui rekapitulasi akhir nilai Haris mencapai skor 90 ke atas, Kuspriyo pun merasa tersinggung.
Sebab, itu artinya nilai yang diberikannya telah diubah oleh pihak tertentu.
"Kalau nilai itu demikian ada, berarti nilai itu dirubah tanpa sepengetahuan saya. Enggak ada, Pak, nilai 95. Saya kasih nilai 80 maksimal 85 kalau dianya pintar. Tapi untuk yang ini Haris itu saya kasih 70-an. Dan itu kan di bawah minimal. Berarti saya tersinggung itu, ada yang merekayasa," kata dia.
"Mungkin diubah oleh orang tertentu di komputer. Mungkin itu yang menyebabkan nilai dia terkatrol masuk ke ranking tiga besar (calon Kakanwil Kemenag Jawa Timur)," sambung Kuspriyo.
Lempar batu sembunyi tangan
Saat memimpin persidangan, hakim Fahzal Hendri sempat menilai Ahmadi terkesan melempar tanggung jawabnya saat menjadi Ketua Pelaksana seleksi JPT Pratama.
Pada awalnya, hakim Fahzal menanyakan apa syarat seorang pelamar calon JPT tak dinyatakan lolos administrasi.
"Secara umum syaratnya antara lain dia eselon III. Minimal 2 tahun duduk di eselon III," jawab Ahmadi.
Hakim Fahzal pun kembali mengonfirmasi apakah Ahmadi berwenang menyeleksi secara administrasi menyangkut riwayat sanksi disiplin pelamar. Ahmadi pun membenarkan kewenangan tersebut.
"Lalu, kenapa saudara masih usulkan juga dia itu, si Haris itu, dia kan pernah mendapat hukuman disiplin tingkat sedang," ujar Fahzal.
"Justru kami menerima semuanya (berkas para pelamar) dan diserahkan ke Panitia Seleksi," jawab Ahmadi.
Baca juga: Penyuap Romy Divonis 2 Tahun Penjara, Hakim Sebut Terbukti Juga Suap Menag Lukman Hakim
Hakim Fahzal memandang, seharusnya Ahmadi yang menjadi Ketua Panitia Pelaksana tak meloloskan Haris Hasanuddin sebagai calon Kakanwil Kemenag Jawa Timur.