"Kalau misalnya ada 6-7 orang agendanya persis sama, pake tagar, sama dan model pengondisian faktanya diputarbalikkan sedemikian rupa, itu kan kita bisa dibilang ada usaha teroraganisir, ada koordinasinya," katanya.
Sementara itu, Direktur NU Online sekaligus pegiat media sosial Mohamad Syafi’ Alielha atau Savic Ali menilai buzzer yang pro pemerintah terlalu reaksioner, apalagi ketika menanggapi kritik elemen masyarakat sipil terhadap Pemerintah dan DPR
Misalnya saat marak gerakan massa #ReformasiDikorupsi, para buzzer pendukung pemerintah melancarkan kontra-narasi dengan menyebut bahwa gerakan tersebut ditunggangi kepentingan politik kelompok tertentu
Baca juga: Buzzer Pendukung Pemerintah Dinilai Terlalu Agresif Tanggapi Kritik
Padahal gerakan mahasiswa dan massa saat itu mengemukakan isu-isu atau persoalan serius menyangkut kepentingan masyarakat luas. Bukan untuk kepentingan pihak tertentu.
"Buzzer-buzzer pro-pemerintah yang sangat agresif atau sangat aktif membela pemerintah apapun keputusannya. Ya menurut saya, itu tindakan yang berlebihan," ujar pria yang akrab disapa Savic Ali saat dihubungi Kompas.com, Selasa.
Pada dasarnya, pemerintah membutuhkan kritik dari masyarakat. Dengan demikian, kata Savic, kritik yang diberikan oleh masyarakat seharusnya diterima sebagai bentuk kontrol terharap pemerintah. Bukan justru dilawan dengan kontra-narasi.
Savic juga mengingatkan, buzzer pendukung pemerintah bisa merusak dukungan elemen masyarakat sipil terhadap legitimasi Presiden Joko Widodo pada periode kedua pemerintahannya.
"Semestinya tidak ada tindakan-tindakan dari para pendukungnya itu yang over, yang justru bisa merusak koalisi atau dukungan dari kelompok masyarakat atau komunitas yang pada dasarnya pro presiden," ujarnya.
Menurut Savic, pembelaan yang berlebihan dari para buzzer berpotensi menjadi bumerang bagi Presiden Jokowi.Akibatnya, citra presiden dapat memburuk dan legitimasi dukungan terhadap pemerintah juga semakin melemah.
Keterlibatan para buzzer dalam peristiwa politik dan gejolak belakangan ini juga dinilai merusak citra dan pemaknaan publik tentang buzzer itu sendiri.
Peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Mohammad Rinaldi Camil menilai, ada pergeseran pandangan dan pemaknaan publik menyangkut buzzer.
"Begini, buzzer itu awalnya sebuah profesi yang legal ya. Bisa dimaknai secara netral karena dia digunakan untuk kepentingan promosi brand atau produk ya. Untuk menaikkan citra produk itu sehingga untuk kepentingan pemasaran dari produk atau brand," kata Rinaldi kepada Kompas.com, Selasa.
Buzzer seperti itu, lanjut Rinaldi, bergerak transparan dan menjaga akuntabilitas. Mereka merupakan influencer yang jelas, memiliki spesialisasi, memiliki jaringan luas dan mampu memengaruhi persepsi publik untuk sebuah brand atau produk.
Baca juga: Buzzer Pro-Pemerintah Dinilai Bisa Merusak Dukungan Publik ke Jokowi
"Dan semuanya jelas, ketika disponsori oleh brand atau produk, dia akan dituntut jujur dengan kontennya, dimana dia akan menyatakan pesan itu disponsori sebuah brand A atau B. Dan itu semuanya bernuansa positif ya sebenarnya dari brand dan promosi. Karena itu kan kepentingan membangun brand image," kata dia.
Rinaldi menjelaskan, buzzer mulai dimanfaatkan dalam dunia politik sejak 2012. Menurut dia, pihak yang menyadari potensi buzzer di dunia politik adalah media agency untuk bisnis politik pencitraan.