JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur NU Online sekaligus pegiat media sosial Mohamad Syafi’ Alielha menilai buzzer politik pendukung pemerintah terlalu reaksioner dalam menanggapi kritik dari elemen masyarakat sipil.
Misalnya saat marak gerakan massa #ReformasiDikorupsi, para buzzer pendukung pemerintah melancarkan kontra-narasi dengan menyebut bahwa gerakan tersebut ditunggangi kepentingan politik kelompok tertentu.
Padahal gerakan mahasiswa dan massa saat itu mengkritik sejumlah rancangan undang-undang bermasalah yang disepakati oleh DPR dan Pemerintah.
Selain itu, mereka juga meminta Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) KPK hasil revisi yang dianggap akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
"Buzzer-buzzer pro-pemerintah yang sangat agresif atau sangat aktif membela pemerintah apapun keputusannya. Ya menurut saya, itu tindakan yang berlebihan," ujar pria yang akrab disapa Savic Ali saat dihubungi Kompas.com, Selasa (7/10/2019).
Baca juga: Pandangan Publik soal Buzzer Disebut Bergeser
Pada dasarnya, pemerintah membutuhkan kritik dari masyarakat. Pasalnya, kekuasaan yang tanpa kontrol akan cenderung koruptif.
Dengan demikian, kata Savic, kritik yang diberikan oleh masyarakat seharusnya diterima sebagai bentuk kontrol terharap pemerintah. Bukan justru dilawan dengan kontra-narasi.
"Artinya, setiap upaya untuk melakukan kontrol melakukan kritik terhadap kekuasaan seharusnya diterima. Teman-teman yang mungkin selama ini pro pemerintah ya seharusnya bisa terima itu," kata Savic.
"Nasib demokrasi dan warga itu bisa baik kalau kekuasaan ada kritik dan ada kontrol," lanjut dia.
Keberadaan buzzer pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo di media sosial menjadi sorotan beberapa waktu terakhir. Pihak Istana Kepresidenan sampai-sampai ikut berkomentar.
Kegaduhan yang diciptakan pendengung pendukung Jokowi terjadi setelah Presiden menyetujui revisi UU KPK yang diusulkan DPR. Para buzzer mati-matian membela kebijakan Jokowi yang tidak populer karena dianggap melemahkan KPK itu.
Keriuhan berlanjut saat mahasiswa dan pelajar melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran, yang salah satunya untuk menolak revisi UU KPK.
Baca juga: Fenomena Buzzer Memanipulasi Opini, Pencerdasan Publik Dinilai Penting
Para buzzer dinilai mendelegitimasi gerakan itu melalui berbagai unggahan. Bahkan ada sejumlah kicauan yang mengarah pada disinformasi.
Menanggapi polemik pendengung itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan bahwa buzzer pendukung Presiden Jokowi yang tersebar di media sosial, tidak dibayar.
Menurut dia, buzzer-buzzer tersebut merupakan relawan dan pendukung setia Presiden Jokowi ketika gelaran Pilpres 2014 hingga 2019 kemarin.
Ia membantah bila ada pihak yang menuding bahwa Kantor Staf Kepresidenan yang dipimpinnya menjadi pemimpin para buzzer dari Jokowi.
Tak hanya itu, ia sekaligus sependapat bila buzzer semua pihak di media sosial agar ditertibkan.