JAKARTA, KOMPAS.com - Fenomena buzzer politik di media sosial kembali mencuat. Setelah Pemilu 2019, para pendengung ini kembali jadi perbincangan karena bergerak aktif ketika terjadi gerakan massa menolak kebijakan pemerintah.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu muncul gelombang demonstrasi dan jenis aksi lainnya di sejumlah daerah yang diikuti masyarakat sipil, mulai dari mahasiswa hingga para tokoh masyarakat.
Beberapa hal yang menjadi tuntutan masyarakat sipil adalah mencabut UU KPK hasil revisi dan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap UU KPK hasil revisi.
Kemudian menolak pelemahan pemberantasan korupsi, RKUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, RUU Sumber Daya Air, RUU Ketenagakerjaan. Selain itu, mereka juga mendesak disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hingga tuntaskan berbagai kebakaran hutan dan lahan.
Di sisi lain, para buzzer pun menyebarkan narasi-narasi yang berseberangan dengan yang diperjuangkan masyarakat sipil. Media sosial pun menjadi riuh dan keruh.
Sampai-sampai, pihak Istana Kepresidenan angkat bicara. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menjelaskan, para buzzer di media sosial perlu ditertibkan. Namun hal ini berlaku ke semua pihak bukan hanya untuk buzzer pro pemerintah.
Baca juga: Buka-bukaan soal Buzzer (1): Pengakuan Denny Siregar dan Pepih Nugraha soal Buzzer Istana
Mantan panglima TNI ini menilai para pendengung tetap bisa membela idola mereka tanpa harus menyerang atau menjelek-jelekkan lawan politik. Cukup dengan memilih diksi yang tepat.
"Pemilu juga sudah selesai. (Gunakan) Bahasa-bahasa persaudaraan, kritik, sih, kritik tapi tidak harus dengan bahasa-bahasa yang kadang-kadang enggak enak juga didengar," ucapnya di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (3/10/2019).
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Gita Putri Damayana menilai, buzzer politik kerapkali menyebarkan narasi yang berseberangan dengan narasi kelompok masyarakat sipil.
Hal itu sah-sah saja sepanjang narasi yang dibangun para buzzer berkualitas.
Baca juga: Buzzer Dinilai Berisiko Membangun Perdebatan yang Tidak Produktif
Meski demikian, ia juga melihat buzzer berisiko membangun perdebatan yang tak produktif dan tak sehat jika mereka menyebarkan narasi yang bersifat menyudutkan.
"Ketika misalnya masyarakat sipil disudutkan gitu ya, dan bukan didebat soal kontennya tapi mengarah kepada organisasi masyarakat sipilnya itu sendiri, atau malah yang diangkat yang enggak ada hubungannya, justru itu yang saya pikir diskusi yang tercipta jadi enggak produktif gitu kan," kata Gita saat dihubungi, Selasa (8/10/2019).
"Padahal debat yang sehat itu kan penting untuk demokrasi kita," ujar Gita.
Gita mengatakan, para buzzer dapat dengan mudah menggeser perdebatan ke hal-hal yang tidak substansial. Dengan demikian, perhatian publik akan teralihkan.
Mereka bisa melakukan itu dengan penyeragaman narasi, termasuk memutarbalikkan fakta.
"Kalau misalnya ada 6-7 orang agendanya persis sama, pake tagar, sama dan model pengondisian faktanya diputarbalikkan sedemikian rupa, itu kan kita bisa dibilang ada usaha teroraganisir, ada koordinasinya," katanya.
Sementara itu, Direktur NU Online sekaligus pegiat media sosial Mohamad Syafi’ Alielha atau Savic Ali menilai buzzer yang pro pemerintah terlalu reaksioner, apalagi ketika menanggapi kritik elemen masyarakat sipil terhadap Pemerintah dan DPR
Misalnya saat marak gerakan massa #ReformasiDikorupsi, para buzzer pendukung pemerintah melancarkan kontra-narasi dengan menyebut bahwa gerakan tersebut ditunggangi kepentingan politik kelompok tertentu
Baca juga: Buzzer Pendukung Pemerintah Dinilai Terlalu Agresif Tanggapi Kritik
Padahal gerakan mahasiswa dan massa saat itu mengemukakan isu-isu atau persoalan serius menyangkut kepentingan masyarakat luas. Bukan untuk kepentingan pihak tertentu.
"Buzzer-buzzer pro-pemerintah yang sangat agresif atau sangat aktif membela pemerintah apapun keputusannya. Ya menurut saya, itu tindakan yang berlebihan," ujar pria yang akrab disapa Savic Ali saat dihubungi Kompas.com, Selasa.
Pada dasarnya, pemerintah membutuhkan kritik dari masyarakat. Dengan demikian, kata Savic, kritik yang diberikan oleh masyarakat seharusnya diterima sebagai bentuk kontrol terharap pemerintah. Bukan justru dilawan dengan kontra-narasi.
Savic juga mengingatkan, buzzer pendukung pemerintah bisa merusak dukungan elemen masyarakat sipil terhadap legitimasi Presiden Joko Widodo pada periode kedua pemerintahannya.
"Semestinya tidak ada tindakan-tindakan dari para pendukungnya itu yang over, yang justru bisa merusak koalisi atau dukungan dari kelompok masyarakat atau komunitas yang pada dasarnya pro presiden," ujarnya.
Menurut Savic, pembelaan yang berlebihan dari para buzzer berpotensi menjadi bumerang bagi Presiden Jokowi.Akibatnya, citra presiden dapat memburuk dan legitimasi dukungan terhadap pemerintah juga semakin melemah.
Keterlibatan para buzzer dalam peristiwa politik dan gejolak belakangan ini juga dinilai merusak citra dan pemaknaan publik tentang buzzer itu sendiri.
Peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Mohammad Rinaldi Camil menilai, ada pergeseran pandangan dan pemaknaan publik menyangkut buzzer.
"Begini, buzzer itu awalnya sebuah profesi yang legal ya. Bisa dimaknai secara netral karena dia digunakan untuk kepentingan promosi brand atau produk ya. Untuk menaikkan citra produk itu sehingga untuk kepentingan pemasaran dari produk atau brand," kata Rinaldi kepada Kompas.com, Selasa.
Buzzer seperti itu, lanjut Rinaldi, bergerak transparan dan menjaga akuntabilitas. Mereka merupakan influencer yang jelas, memiliki spesialisasi, memiliki jaringan luas dan mampu memengaruhi persepsi publik untuk sebuah brand atau produk.
Baca juga: Buzzer Pro-Pemerintah Dinilai Bisa Merusak Dukungan Publik ke Jokowi
"Dan semuanya jelas, ketika disponsori oleh brand atau produk, dia akan dituntut jujur dengan kontennya, dimana dia akan menyatakan pesan itu disponsori sebuah brand A atau B. Dan itu semuanya bernuansa positif ya sebenarnya dari brand dan promosi. Karena itu kan kepentingan membangun brand image," kata dia.
Rinaldi menjelaskan, buzzer mulai dimanfaatkan dalam dunia politik sejak 2012. Menurut dia, pihak yang menyadari potensi buzzer di dunia politik adalah media agency untuk bisnis politik pencitraan.
"Nah sejak masuk ke politik, dia ini perlahan bercitra negatif karena cara kerja buzzer politik itu dia menaikkan citra seorang kandidat dengan mempromosikan prestasi. Tapi di sisi lain dia menyerang kandidat lawan, dengan fitnah, hoaks dan cara-cara yang difabrikasi," katanya.
Pada titik itulah, peredaran hoaks dan disinformasi semakin masif, hingga saat ini. Apalagi literasi sebagian publik soal media sosial masih rendah dan publik juga rentan dipengaruhi isu SARA.
Rinaldi menekankan pentingnya upaya pencerdasan publik di tengah fenomena buzzer di media sosial.
"Yang perlu didorong pencerdasan publik, kan publik belum terkonsolidasi. Ada CSO, kelompok intelektual, dan masyarakat luas itu harus konsolidasi," kata Rinaldi.
Menurut dia, itu perlu dilakukan untuk membangun jaringan pesan yang kuat untuk melawan buzzer yang melakukan manipulasi opini publik. Ia berharap publik aktif bersuara melawan narasi negatif yang disebarkan buzzer di media sosial.
"Intelektual perlu aktif memproduksi pengetahuan kepada publik supaya tercerahkan dan tahu mana yang positif dan negatif. Nanti akan tertangkap di jaringan sosialnya nanti bisa terlihat suara publik, bisa membentuk jaringan yang besar," kata dia.
Upaya itu penting, mengingat buzzer yang menyebarkan narasi negatif sulit dikontrol. Rinaldi menilai buzzer tak bisa 'ditertibkan' sebagaimana yang disampaikan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko.
Baca juga: Fenomena Buzzer Memanipulasi Opini, Pencerdasan Publik Dinilai Penting
Sebab, menurut Rinaldi, tidak ada kejelasan siapa pula yang memerintah, menggerakkan, dan membayar mereka. Selain itu tidak ada pengaturan legal yang mengikat mereka.
"Cara kerjanya di zona abu-abu, penuh kerahasiaan, tidak ada akuntabilitas yang mendanai dan apakah betul disponsori pihak A atau B, kemudian pesannya kan negatif," kata dia.
"Buzzer kayak itu efektif di masyarakat yang tidak teliterasi dengan baik, apalagi masyarakat kita yang cenderung komunal di mana kita suka men-share tanpa memfilter mandiri dan apalagi di tengah kondisi politik kita," ujar Rinaldi.
Ke depannya, Rinaldi berharap ada pengaturan legal yang mengikat buzzer politik, selayaknya buzzer untuk mendukung promosi brand atau produk.
"Harus ada pengaturan secara legal buzzer bekerja untuk siapa, di bawah agency apa, apakah dia terdaftar di agency itu, didanai oleh siapa dia. Ketika menyebarkan pesan dia harus menyatakan dia didanai. Dengan syarat mereka bergerak dengan akuntabel dan transparan," ungkap Rinaldi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.