"Nah sejak masuk ke politik, dia ini perlahan bercitra negatif karena cara kerja buzzer politik itu dia menaikkan citra seorang kandidat dengan mempromosikan prestasi. Tapi di sisi lain dia menyerang kandidat lawan, dengan fitnah, hoaks dan cara-cara yang difabrikasi," katanya.
Pada titik itulah, peredaran hoaks dan disinformasi semakin masif, hingga saat ini. Apalagi literasi sebagian publik soal media sosial masih rendah dan publik juga rentan dipengaruhi isu SARA.
Rinaldi menekankan pentingnya upaya pencerdasan publik di tengah fenomena buzzer di media sosial.
"Yang perlu didorong pencerdasan publik, kan publik belum terkonsolidasi. Ada CSO, kelompok intelektual, dan masyarakat luas itu harus konsolidasi," kata Rinaldi.
Menurut dia, itu perlu dilakukan untuk membangun jaringan pesan yang kuat untuk melawan buzzer yang melakukan manipulasi opini publik. Ia berharap publik aktif bersuara melawan narasi negatif yang disebarkan buzzer di media sosial.
"Intelektual perlu aktif memproduksi pengetahuan kepada publik supaya tercerahkan dan tahu mana yang positif dan negatif. Nanti akan tertangkap di jaringan sosialnya nanti bisa terlihat suara publik, bisa membentuk jaringan yang besar," kata dia.
Upaya itu penting, mengingat buzzer yang menyebarkan narasi negatif sulit dikontrol. Rinaldi menilai buzzer tak bisa 'ditertibkan' sebagaimana yang disampaikan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko.
Baca juga: Fenomena Buzzer Memanipulasi Opini, Pencerdasan Publik Dinilai Penting
Sebab, menurut Rinaldi, tidak ada kejelasan siapa pula yang memerintah, menggerakkan, dan membayar mereka. Selain itu tidak ada pengaturan legal yang mengikat mereka.
"Cara kerjanya di zona abu-abu, penuh kerahasiaan, tidak ada akuntabilitas yang mendanai dan apakah betul disponsori pihak A atau B, kemudian pesannya kan negatif," kata dia.
"Buzzer kayak itu efektif di masyarakat yang tidak teliterasi dengan baik, apalagi masyarakat kita yang cenderung komunal di mana kita suka men-share tanpa memfilter mandiri dan apalagi di tengah kondisi politik kita," ujar Rinaldi.
Ke depannya, Rinaldi berharap ada pengaturan legal yang mengikat buzzer politik, selayaknya buzzer untuk mendukung promosi brand atau produk.
"Harus ada pengaturan secara legal buzzer bekerja untuk siapa, di bawah agency apa, apakah dia terdaftar di agency itu, didanai oleh siapa dia. Ketika menyebarkan pesan dia harus menyatakan dia didanai. Dengan syarat mereka bergerak dengan akuntabel dan transparan," ungkap Rinaldi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.