JAKARTA, KOMPAS.com - Tak semua pihak setuju dan mendorong agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS) segera disahkan.
Segelintir pihak menganggap isi RUU PKS tak sesuai dengan norma ketimuran dan mengesampingkan nilai-nilai agama. Contohnya, sikap penolakan yang ditunjukkan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR RI.
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini menilai ketentuan mengenai definisi kekerasan seksual dan cakupan tindak pidana kekerasan seksual dominan berperspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran.
Bahkan, kata Jazuli, RUU PKS menciptakan budaya permisif atas perilaku seks bebas dan perzinaan.
Baca juga: Sejumlah Hal ini Jadi Alasan UU PKS Harus Segera Disahkan
Adapun, definisi kekerasan seksual diatur dalam Pasal 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Pasal itu menyatakan, "Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik".
Sementara, cakupan tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Pasal 11 sampai Pasal 20.
Pasal 11 ayat (1) menyatakan kekerasan seksual terdiri dari:
a. pelecehan seksual;
b. eksploitasi seksual;
c. pemaksaan kontrasepsi;
d. pemaksaan aborsi;
e. perkosaan;
f. pemaksaan perkawinan;
g. pemaksaan pelacuran;
h. perbudakan seksual; dan
i. penyiksaan seksual.
Sedangkan Pasal 11 Ayat (2) menyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik, bencana alam dan situasi khusus lainnya.
Baca juga: RUU PKS Tak Kunjung Selesai, DPR Dinilai Abai pada Kekerasan Seksual
Padahal itu merupakan amanat dari Pancasila sebagai dasar negara.
"Dalam konteks negara ditegaskan bahwa dalam UUD Pasal 29 ditegaskan bahwa negara itu berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa atau kepada nilai agama. Harusnya itu yang jadi rujukan utama," ujar Hidayat.
Hidayat mengatakan, Fraksi PKS sejak awal sudah mengusulkan sejumlah perbaikan dalam RUU itu.
Ini termasuk memasukkan ketentuan Pancasila, UUD, dan mempertimbangkan nilai agama yang diakui di Indonesia sebagai rujukannya.
"Tetapi itu semua kan tidak diterima," kata dia.
Baca juga: Revisi UU KPK Dikebut, Kapan Giliran RUU PKS Disahkan?
Asumsi itu pun dibantah Ketua Komnas Perempuan Azriana R Manalu. Menurut dia, pihak yang bersikap kontra tersebut memahami teks RUU PKS dari perspektif yang keliru.
Ia mengatakan, RUU PKS merupakan lex specialist atau undang-undang khusus dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sudah mengatur secara umum.
Hal-hal yang berkaitan dengan moral dan kesusilaan, kata Azriana, telah diatur dalam KUHP.
Pasal perzinaan, misalnya, sudah diatur dalam Pasal 284 KUHP. Dalam KUHP, zina dirumuskan sebagai kejahatan dalam perkawinan.
Sementara, RUU PKS ini tak bisa tumpang tindih dengan regulasi yang ada.
"RUU ini tidak bicara soal kejahatan terhadap kesusilaan, hanya bicara soal kekerasan seksual. Yang bukan kekerasan seksual itu bisa dibahas di UU lain," kata Azriana kepada Kompas.com, Senin (23/8/2019).
Baca juga: RUU PKS Tak Kunjung Rampung, Ini 3 Poin yang Masih Diperdebatkan
Azriana mencontohkan soal aborsi. Di RUU PKS, pemaksaan melakukan aborsi merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual.
Jika ada seseorang memaksa orang lain melakukan aborsi, maka akan dipidana. Poin ini lantas membuat RUU PKS dianggap melegalkan aborsi.
Padahal, dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, aborsi dimungkinkan jika kehamilan terjadi akibat pemerkosaan, atau kehamilan yang mengancam nyawa sang ibu.
Sementara dalam KUHP yang saat ini dalam tahapan revisi, ada ketentuan lain yang mengatur larangan aborsi, yang berbeda kasusnya dengan yang diatur dalam UU PKS dan UU Kesehatan.
"Jadi asumsinya, kalau yang dipaksa itu boleh. Tidak sesederhana itu. Kalau (aborsi) bukan pemaksaan, sudah diatur dalam KUHP," kata Azriana.
"Dalam RUU PKS bukan berarti aborsi itu boleh, bisa jadi sudah diatur dalam UU lain," ujar dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.