JAKARTA, KOMPAS.com – DPR RI baru saja mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pengesahannya hanya butuh hitungan 12 hari, termasuk pembahasan bersama pemerintah hingga pengesahan.
Namun, ada revisi undang-undang lainnya yang dianggap lebih urgent untuk dibahas anggota dewan. Salah satunya, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang didesak untuk segera disahkan.
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Azriana menilai, dibandingkan mengesahkan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang substansinya masih berpolemik, RUU PKS lebih penting untuk segera disahkan demi melindungi korban kekerasan.
Baca juga: Korban Kekerasan Seksual Terus Berjatuhan, Komnas Perempuan Desak RUU PKS Segera Disahkan
RUU PKS telah masuk Prolegnas sejak 2016.
Menurut dia, masih ada waktu beberapa hari lagi sebelum DPR periode 2014-2019 berakhir masa tugasnya.
"Revisi UU KPK saja yang tidak masuk Prolegnas 2014-2019 tiba-tiba muncul dan dibahas hanya 20 hari lagi jelang berakhirnya DPR periode ini," kata dia.
Desakan senada juga disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise. Bahkan, Yohana meminta agar bulan September ini, RUU PKS bisa disahkan.
"Harapan saya bulan September RUU PKS bisa disahkan. Saya mohon kepada Ketua Komisi VIII DPR, saya titip mohon dipercepat," ujar Yohana di Hotel Menara Peninsula, Senin (2/9/2019).
Baca juga: Menteri PPPA Desak DPR Sahkan RUU PKS Bulan Ini
RUU PKS hingga saat ini belum disahkan karena masih ada beberapa pembahasan yang belum mencapai titik temu. Ada beberapa pasal dalam RUU PKS tersebut yang dianggap berpotensi dapat melegalkan praktik seks bebas.
Muncul anggapan bahwa DPR dinilai tak serius untuk membahas ataupun menyelesaikan RUU PKS.
Hal ini terbukti dari sedikitnya fraksi DPR dan panitia kerja (Panja) yang hadir dalam rapat pembahasan RUU PKS, Senin (26/8/2019).
Berdasarkan hasil pantauan koalisi masyarakat sipil, hanya 2 dari 12 fraksi yang menghadiri pembahasan.
Sedangkan anggota Panja yang hadir hanya 3 orang dari total 26.
"DPR sebagai wakil rakyat tidak serius dan menganggap bahwa permasalahan kekerasan sesksual yang kerap terjadi pada warga negaranya bukanlah hal yang penting untuk segera dituntaskan," kata Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan Ratna Batara Munti saat konferensi pers di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019).
Menurut Ratna, karena banyak anggota Panja yang tidak hadir, pembahasan RUU pun tidak membawa langkah maju. Rapat tidak menghasilkan apapun hingga akhirnya ditutup.
Baca juga: Komisi VIII dan Komisi III Akan Sinkronisasi RUU PKS dengan RKHUP