Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Masifnya Pro Revisi UU KPK di Medsos, "By Design"?

Kompas.com - 19/09/2019, 07:26 WIB
Christoforus Ristianto,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Keriuhan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hinggap di dunia maya.

Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Ismail Fahmi menyebut bahwa ada satu juta percakapan tentang KPK dalam rentang 10 hingga 17 September 2019 di media sosial.

"Dalam satu pekan, hampir ada satu juta percakapan di media sosial tentang KPK. Tampak memang ada naik turun (intensitas) percakapan tentang KPK. Paling tinggi itu ada di Twitter, kemudian Facebook, dan online news," ujar Fahmi dalam diskusi bertajuk "Membaca Strategi Pelemahan KPK: Siapa yang Bermain?" di ITS Tower, Jakarta, Rabu (18/9/2019).

Baca juga: Pakar: Tanpa Perlawanan, Buzzer Sukses Bikin Publik Ragukan KPK

Tapi siapa sangka ada fakta menarik soal pertarungan wacana di media sosial tersebut. Khususnya soal masifnya dorongan revisi UU lembaga antirasuah itu di media sosial.

Fahmi memaparkan, ada tiga kelompok yang terlibat dalam perbincangan revisi UU KPK di media sosial.

Pertama, poros kelompok pro revisi UU KPK. Kedua, poros menolak revisi. Ketiga, kelompok penengah yang dimotori praktisi dan pegiat media massa.

Ketiga kelompok tersebut juga berusaha memviralkan tanda pagar masing-masing. Namun, kelompok yang paling banyak mempopulerkan tagar, yakni yang menyetujui revisi UU KPK.

"Kelompok yang paling banyak menggunakan tagar adalah kelompok pro revisi UU KPK. Misalnya ada tagar 'KPK Kuat Korupsi Turun' 'KPK Cengeng', 'KPK Lebih Baik', dan seterusnya," papar Fahmi.

Tagar yang diviralkan oleh kelompok pro revisi UU KPK, lanjut dia, memiliki volume yang cukup tinggi dibandingkan kelompok kontra revisi UU KPK dan kelompok penengah.

Baca juga: Narasi Pro Revisi UU KPK Dinilai Masif dan Sistematis Dilakukan di Medsos

Fahmi juga menyebut kelompok revisi UU KPK yang ada di media sosial terorganisir. Sedangkan kelompok menolak revisi tidak terorganisir.

"Kelompok pro revisi UU KPK itu terorganisir. Kalau kelompok kontra itu tidak, karena dibangun oleh publik, bukan buzzer. Kelompok pro revisi UU KPK ini menciptakan opini publik dan memanipulasi yang dilakukan secara konsisten," lanjut dia.

Singkatnya, ada buzzer yang menggiring opini agar UU KPK direvisi.

Dikemas Menarik

Fahmi melanjutkan, penggiringan opini publik di media sosial tersebut dikemas supaya menarik hati.

Pakar analitika media sosial dan digital dari Universitas Islam Indonesia (UII), Ismail Fahmi. KOMPAS.com/CHRISTOFORUS RISTIANTO Pakar analitika media sosial dan digital dari Universitas Islam Indonesia (UII), Ismail Fahmi.
Salah satu contohnya adalah dengan memberikan ganjaran berupa pulsa hingga saldo uang elektronik semisal OVO, Gopay sebesar Rp 50.000, kepada warganet yang membalas atau me-retweet cuitan akun itu sebanyak-banyaknya.

"Jadi berdasarkan kajian dan penelitian yang dilakukan, ada akun buzzer yang muncul untuk membuat opini publik pro revisi UU KPK. Buzzer itu ada di Twitter dengan nama akun @menuwarteg lewat model giveaway," ujar Ismail.

"Secara konsisten, dia (@menuwarteg) membuat giveaway murah hati sekali, memberikan Rp 50.000 untuk dua orang yang mencuit dengan tagar-tagar pro revisi UU KPK. Banyak sekali warganet yang me-retweet dan mencuit yang isinya tidak ada relasi dengan KPK, yang penting ada tagar," lanjut dia.

Baca juga: Pakar Medsos: Ada Buzzer Pro-revisi UU KPK Gunakan Modus Giveaway

Penelusuran Kompas.com di dunia maya membuktikan pernyataan Fahmi. Akun itu meminta warganet menulis kembali atau mengunggah kicauan di Twitter sebanyak-banyaknya dengan disertai tagar #KPKPatuhAturan sejak pukul 16.40 WIB hingga pukul 19.00 WIB.

Tidak hanya ungahan yang menuliskan hal relevan dengan KPK, namun banyak pula unggahan yang tak ada hubunganya dengan KPK.

Beberapa unggahan yang tak relevan, yakni, 'Bekasi #KPKPATUHAturan' 'Bojonggede #KPKPATUHAturan' dan 'Riau Kota Berasap #KPKPATUHAturan.

"Jadi yang penting adalah tagarnya, bukan isi cuitannya. Ketika tagar itu masuk lalu jadi trending topic di Twitter, yang penting muncul. Itu jadi alat atau tools mereka untuk memanipulasi publik," papar Fahmi.

Baca juga: Revisi UU KPK Disahkan, KPK Tetap Berupaya Temui Presiden

Penggunaan metode seperti ini dinilai memiliki dampak besar bagi opini pro revisi UU KPK. Seolah-olah mayoritas publik benar-benar mendorong revisi UU KPK. Padahal dorongan itu patut dicurigai by design.

"Jadi pada saat revisi UU KPK diketok, kampanye yang digunakan adalah dengan tagar 'KPKPATUHAturan'. Ini kan semacam opini yang dibangun seolah publik minta KPK jangan macam-macam, ikuti aturan," ujar dia.

KPK Diserang Isu Taliban

Selain mendorong UU KPK direvisi, pada waktu yang bersamaan, buzzer-buzzer tersebut juga menggiring opini publik bahwa menguatnya kelompok radikal di lembaga KPK. Mereka mengistilahkannya sebagai "taliban".

"Isu taliban ini sering dan sukses dipakai oleh buzzer yang bertujuan agar publik ragu terhadap KPK dan menyetujui agar revisi disahkan dan berharap capim terpilih bisa membersihkan isu itu," ujar Fahmi.

Baca juga: Pakar Medsos: KPK Diserang Isu Radikalisme Saat Revisi UU KPK Bergulir

Terdapat dua kelompok yang kerap menjadi acuan warganet soal isu tersebut. Kelompok pertama adalah kelompok pendukung revisi UU KPK dengan menyebut lembaga antirasuah tersebut dipenuhi kelompok taliban.

Kedua, adalah orang-orang yang menolak revisi UU KPK dan menegaskan tidak ada orang-orang taliban di internal KPK.

"Yang pro revisi UU KPK dan menyebut isu taliban adalah para buzzer. Sedangkan yang kontra revisi adalah masyarakat biasa, yang dipimpin oleh anak dari Abdurrahman Wahid, yaitu Alisa Wahid dan Anita Wahid," papar Fahmi.

Kelompok pro revisi UU menyerang KPK dengan isu taliban bernada negatif. Narasi yang digunakan di media sosial, khususnya Twitter, disampaikan secara sistematis dan praktik tanpa ada perlawanan dari pihak kontra revisi.

Baca juga: Revisi UU KPK Berjalan Mulus, Barter dengan Pemindahan Ibu Kota?

Ismail mencontohkan, seperti akun @Billray2019 yang menyatakan "Jokowi Tidak Membunuh KPK. Selamat tinggal taliban di KPK. Kalian kalah lagi, kalian kalah lagi." Pernyataan tersebut diunggah pada 13 September pukul 10.03 WIB.

"Jadi upaya melemahkan KPK di media sosial itu terkoordinir dengan sangat bagus, hasilnya pun sangat bagus dengan mengggiring opini publik bahwa KPK memang harus dibersihkan," lanjut Fahmi.

Dengan penggunaan isu permasalahan di internal KPK tersebut, lanjut Fahmi, warganet termanipulasi dan menyetujui bahwa revisi diperlukan agar KPK menjadi lebih baik.

"Propaganda itu juga menjadi berhasil karena media massa membahasnya. Dari situasi ini, terlihat memang ada pembangunan narasi bahwa benar ada polisi taliban di KPK. Warganet beranggapan capim yang terpilih memiliki misi untuk membersihkannya," pungkas Fahmi. 

 

Kompas TV Sejumlah lembaga swadaya masyarakat melaporkan Polda Metro Jaya dan Polda Jawa Timur ke komisi kepolisian nasional atau kompolnas terkait kasus hukum Veronica Koman yang diduga menjadi dalang provokator kerusuhan di asrama mahasiswa Papua.<br /> <br /> Mereka menilai jika tuduhan Polda Jawa Timur kepada Veronica Koman yang dijadikan tersangka provokasi insiden kericuhan asrama mahasiswa papua di Surabaya tidak berdasar.<br /> <br /> Veronica Koman dinilai hanya menjalankan tugasnya sebagai pengacara mahasiswa Papua di Surabaya.<br /> <br /> Kompolnas nantinya akan meminta klarifikasi kepada Polda Jawa Timur dan Polda Metro Jaya terkait penahanan sejumlah mahasiswa Papua dan penetapan tersangka aktivis Veronica Koman. #VeronicaKoman #Papua #KasusVeronicaKoman
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com