JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar analitika media sosial dan digital dari Universitas Islam Indonesia (UII) Ismail Fahmi menilai, ada upaya manipulasi opini publik yang masif dalam mendukung revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) di media sosial.
"Ada pihak yang secara masif dan sistematis membangun narasi di semua platform medsos untuk mendukung revisi UU KPK, itu upaya menciptakan dan memanipulasi opini publik di media sosial," ujar Ismail Fahmi dalam diskusi bertajuk "Membaca Strategi Pelemahan KPK: Siapa yang Bermain?" di di ITS Tower, Jakarta Selatan, Rabu (18/9/2019).
Baca juga: Pakar Medsos: Ada Buzzer Pro-revisi UU KPK Gunakan Modus Giveaway
Menurut Ismail, manipulasi opini publik dilakukan untuk membuat publik ragu dengan membanjirnya berbagai informasi yang kemudian dapat mengarahkan untuk mendukung revisi UU KPK.
"Publik yang tidak tahu, akan ragu-ragu dengan KPK, keraguan itu jadi entry point agar publik menjadi tidak pro-KPK dan mendukung revisi," kata Ismail.
Manipulasi opini publik, lanjutnya, contohnya seperti propaganda isu radikalisme yang menyerang KPK di media sosial.
Baca juga: Joko Anwar Bersuara, Ajak Masyarakat Tanda Tangani Petisi Dukung KPK
Ismail menyebutkan, KPK secara sistematis diserang dengan menggunakan isu taliban dari rentang waktu 7-13 September 2019.
"Isu taliban ini sering dan sukses dipakai oleh buzzer yang bertujuan agar publik ragu terhadap KPK dan menyetujui agar revisi disahkan dan berharap capim terpilih bisa membersihkan isu itu," ujar Ismail.
Dua kelompok
Ismail menjabarkan, terdapat dua kelompok yang kerap menjadi acuan warganet soal isu tersebut, kelompok pertama adalah kelompok pendukung revisi UU KPK dengan menyebut lembaga antirasuah tersebut dipenuhi orang-orang taliban.
Adapun kelompok kedua adalah orang-orang yang menolak revisi UU KPK dan menegaskan tidak ada orang-orang taliban di internal KPK.
"Yang pro revisi UU KPK dan menyebut isu taliban adalah para buzzer. Sedangkan yang kontra revisi adalah masyarakat biasa, yang dipimpin oleh anak dari Abdurrahman Wahid, yaitu Alisa Wahid dan Anita Wahid," jelasnya.
Baca juga: Pakar Medsos: KPK Diserang Isu Radikalisme Saat Revisi UU KPK Bergulir
Kelompok pro revisi UU, lanjutnya, menyerang KPK dengan isu taliban bernada negatif.
Narasi yang digunakan di media sosial, khususnya Twitter, disampaikan secara sistematis dan praktik tanpa ada perlawanan dari pihak kontra revisi.
"Jadi upaya melemahkan KPK di media sosial itu terkoordinir dengan sangat bagus, hasilnya pun sangat bagus dengan mengggiring opini publik bahwa KPK memang harus dibersihkan," imbuhnya.
Baca juga: Bertopeng Hidung Panjang, Warga di Malang Tolak Revisi UU KPK
Dengan penggunaan isu permasalahan di internal KPK tersebut, lanjut Ismail, warganet termanipulasi dan menyetujui bahwa revisi diperlukan agar KPK menjadi lebih baik.
"Propaganda itu menjadi berhasil karena media massa juga membahasnya. Dari situasi ini, terlihat memang ada pembangunan narasi bahwa ada polisi taliban di KPK. Warganet beranggapan capim yang terpilih memiliki misi untuk membersihkannya," jelasnya.
Selain isu radikalisme, Ismail juga menemukan cara baru dari buzzer untuk memanipulasi opini publik, yakni dengan melakukan giveaway atau memberi hadiah berupa voucher gratis agar publik tertarik.
"Di sini ada namanya giveaway, ada fenomena baru. Secara konsisten mereka buat giveaway murah sekali, dengan memberi voucher senilai Rp 50.000. Akhirnya banyak sekali orang yang me-retwit, meskipun isinya enggak ada relasi sama sekali dengan KPK tapi ada tagar dukung revisi UU KPK," ungkap Ismail.