Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Medsos: KPK Diserang Isu Radikalisme Saat Revisi UU KPK Bergulir

Kompas.com - 18/09/2019, 14:55 WIB
Christoforus Ristianto,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Analis media sosial dan digital dari Universitas Islam Indonesia (UII), Ismail Fahmi, menyampaikan, ada propaganda isu terkait radikalisme yang menyerang KPK di media sosial selama rencana revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergulir. 

Ismail menyebutkan, KPK secara sistematis diserang melalui isu itu dari 7 September hingga 13 September 2019.

"Isu radikalisme, yakni isu Taliban ini sering dan sukses dipakai oleh buzzer yang bertujuan agar publik ragu terhadap KPK dan menyetujui agar revisi disahkan dan berharap capim terpilih bisa membersihkan isu itu," ujar Ismail dalam diskusi bertajuk "Membaca Strategi Pelemahan KPK: Siapa yang Bermain?" di ITS Tower, Jakarta, Rabu (18/9/2019).

Baca juga: Pakar Medsos: Ada Buzzer Pro-revisi UU KPK Gunakan Modus Giveaway

Ismail memaparkan, ada dua kelompok yang kerap menjadi acuan warganet soal isu tersebut.

Kelompok pertama ialah pendukung revisi UU KPK dengan menyebut lembaga antikorupsi tersebut dipenuhi orang-orang Taliban. 

Kelompok kedua adalah orang-orang yang menolak revisi UU KPK dan menegaskan tidak ada orang-orang Taliban di internal KPK.

"Yang pro-revisi UU KPK dan menyebut isu Taliban adalah para buzzer, sedangkan yang kontra-revisi adalah masyarakat biasa, yang dipimpin oleh anak dari Abdurrahman Wahid, yaitu Alisa Wahid dan Anita Wahid," ucap dia. 

Kelompok pro-revisi UU, menurut Ismail, menyerang KPK dengan isu Taliban bernada negatif.

Narasi yang digunakan di media sosial, khususnya Twitter, disampaikan secara sistematis dan praktik tanpa ada perlawanan dari pihak kontra-revisi.

Ismail mencontohkan akun @Billray2019 yang menyatakan "Jokowi Tidak Membunuh KPK. Selamat tinggal taliban di KPK. Kalian kalah lagi, kalian kalah lagi."

Pernyataan tersebut diunggah pada 13 September pukul 10.03 WIB. 

"Jadi upaya melemahkan KPK di media sosial itu terkoordinir dengan sangat bagus, hasilnya pun sangat bagus dengan mengggiring opini publik bahwa KPK memang harus dibersihkan," ucap dia. 

Baca juga: Bantah Fahri Hamzah, Istana Tegaskan Jokowi Tak Terganggu oleh KPK

Dengan penggunaan isu permasalahan di internal KPK tersebut, lanjut Ismail, warganet dipengaruhi sehingga menilai revisi UU diperlukan agar KPK menjadi lebih baik. 

"Propaganda itu menjadi berhasil karena media massa juga membahasnya. Dari situasi ini, terlihat memang ada pembangunan narasi bahwa ada polisi taliban di KPK. Warganet beranggapan capim yang terpilih memiliki misi untuk membersihkannya," kata Ismail.

Adapun revisi UU KPK digolkan dalam waktu singkat di DPR. Pada 6 September 2019, DPR menyepakati revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR dan dibahas.

Kemudian pada 17 September 2019, DPR mengesahkan UU KPK hasil revisi. Dengan demikian, hanya butuh waktu 12 hari bagi DPR mengegolkan revisi UU itu.

Padahal, revisi UU KPK dikritik sejumlah pihak, termasuk internal KPK, karena dianggap dapat melemahkan KPK. 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Presiden Jokowi Bakal Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang Besok

Presiden Jokowi Bakal Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang Besok

Nasional
Di Forum MIKTA Meksiko, Puan Bahas Tantangan Ekonomi Global hingga Persoalan Migran

Di Forum MIKTA Meksiko, Puan Bahas Tantangan Ekonomi Global hingga Persoalan Migran

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi Kabinet ke Megawati, Pengamat: Itu Hak Presiden, Wapres Hanya Ban Serep

Gibran Ingin Konsultasi Kabinet ke Megawati, Pengamat: Itu Hak Presiden, Wapres Hanya Ban Serep

Nasional
Prabowo Mau Bentuk 'Presidential Club', Pengamat: Kalau Diformalkan, Berapa Lagi Uang Negara Dipakai?

Prabowo Mau Bentuk "Presidential Club", Pengamat: Kalau Diformalkan, Berapa Lagi Uang Negara Dipakai?

Nasional
Hadiri MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10 di Meksiko, Puan: Kepemimpinan Perempuan adalah Kunci Kemajuan Negara

Hadiri MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10 di Meksiko, Puan: Kepemimpinan Perempuan adalah Kunci Kemajuan Negara

Nasional
Polri Usulkan Penambahan Atase Kepolisian di Beberapa Negara

Polri Usulkan Penambahan Atase Kepolisian di Beberapa Negara

Nasional
Kopasgat Kerahkan 24 Sniper dan Rudal Chiron Amankan World Water Forum di Bali

Kopasgat Kerahkan 24 Sniper dan Rudal Chiron Amankan World Water Forum di Bali

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com