JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan, permintaan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) sudah lama disampaikan oleh pimpinan KPK.
Sebab, pimpinan KPK merasa ada yang salah dalam UU KPK yang berlaku saat ini.
"Permintaan revisi itu datang dari banyak pihak termasuk dan terutama dari pimpinan KPK. Orang-orang KPK merasa ada masalah di UU KPK itu," kata Fahri saat dihubungi, Jum'at (6/9/2019).
Fahri juga mengatakan, Presiden Joko Widodo juga sudah lama menyetujui rencana revisi UU MD3.
Baca juga: Pakar Sebut Rencana Revisi UU KPK Bukti DPR Tak Fokus Kerja
Menurut dia, persetujuan presiden itu berdasarkan pada permintaan banyak pihak yang ingin merevisi UU KPK yang berlaku saat ini.
"Nah DPR, saya kira tidak pernah berhenti karena saya sendiri pernah menghadiri rapat konsultasi dengan presiden, dan presiden sebetulnya setuju dengan pikiran mengubah UU KPK. Itu sesuai dengan permintaan pihak termasuk pimpinan KPK dan akademisi, dan sebagainya," ujarnya.
Fahri menyinggung pasal dalam revisi UU KPK terkait Dewan Pengawas.
Baca juga: Fahri Hamzah: Rencana Revisi UU KPK Sudah Disetujui Presiden Jokowi
Menurut dia, KPK sudah sewajarnya memiliki Dewan Pengawas agar lembaga antirasuah itu tak sewenang-wenang dalam menjalankan tugas.
"Kan kita udah tahu, kan banyak sekali akibatnya pelanggaran yang kita terpaksa tutup karena KPK itu kan dianggap sebagai holy cow, enggak boleh salah dia, harus dianggap suci dia, karena kalau dianggap kotor nanti orang istilahnya enggak takut, dianggapnya begitu. Padahal itu perspektif salah, tapi intinya adalah dimana ada kewenangan besar, ya harus ada pengawas," ucap dia.
Baca juga: Anggota Komisi III DPR: Pengusul Pembahasan Revisi UU KPK Ada 6 Orang
Selain itu, Fahri juga menyoroti revisi UU KPK terkait kewenangan KPK menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan atau SP3.
Menurut dia, kewenangan SP3 itu diperlukan KPK agar kasus-kasus yang telah lama tak terselesaikan bisa ditutup, termasuk ketika ada penyidik KPK yang keliru dalam menetapkan status tersangka.
"SP3 sebagai ketidakmampuannya (KPK) untuk menemukan kesalahan orang, bukannya malah orang itu terpaksa disalah-salahkan, dipaksa bersalah hanya karena KPK enggak boleh mengeluarkan SP3," kata dia.
Baca juga: Tak Masuk Prolegnas, Revisi UU KPK Langgar Aturan Formil
Selanjutnya, menurut Fahri, pasal-pasal yang direvisi dalam UU KPK merupakan permintaan dari berbagai pihak.
Ia mengatakan, banyak kinerja KPK yang harus dibenahi.misalnya kinerja para penyidik dan proses penyadapan.
"Pasal-pasal yang diubah itu saya kira sudah merupakan permintaan semua orang. Pimpinan KPK juga tahu akhirnya banyak penyidik liar, penyidik yang bekerja insubordinasi, semua karena penyidik menganggap dirinya independen dan tidak ada yang mengawasi. Nyadap sendiri, nangkap sendiri, ngintip sendiri, menyimpan orang sendiri," pungkasnya.