JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo memberikan tanda kehormatan kepada sejumlah tokoh yang dianggap sudah banyak berjasa di Indonesia. Tanda kehormatan diberikan sekaligus dalam rangka memperingati HUT ke-74 RI.
Pemberian tanda jasa kehormatan ini merupakan hasil persetujuan sidang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (Dewan GTK) periode Agustus 2019.
Namun, dari 29 tokoh tersebut, terdapat beberapa nama yang sempat ramai jadi perbincangan publik karena pernah terjerat masalah. Beberapa dari mereka pernah dijerat kasus pidana, ada juga yang diduga melanggar etik.
Namun, Wakil Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Jimly Asshiddiqie memastikan, semua yang diberikan gelar penghargaan hari ini tak memiliki masalah hukum.
"Sampai detik ini semua yang diberikan gelar ini, penghargaan ini, tidak ada masalah hukum," ujar Jimly, Kamis (15/8/2019).
Apabila nantinya penerima tanda jasa terseret kasus hukum, maka penghargaannya bisa dicabut.
Berikut sejumlah penerima tanda bintang dari presiden yang pernah tersandung polemik hukum di masa lalu:
1. Hadi Poernomo (Ketua BPK periode 2009-2014)
Dia pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi terkait pembayaran pajak PT Bank Central Asia (BCA).
Kejadian tersebut berlangsung pada tahun 2003-2004, namun baru disidik KPK pada 2014.
Hadi Poernomo diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang dalam kapasitas dia sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004. Ia diduga mengubah telaah Direktur Pajak Penghasilan mengenai keberatan SKPN PPh BCA.
Baca juga: Kontroversi Hadi Poernomo, Penerima Bintang Mahaputra yang Pernah Jadi Tersangka KPK
Adapun nilai non-performing loan (NPL atau kredit bermasalah) senilai Rp 5,7 triliun Direktur PPh menyurati Dirjen Pajak dengan kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.
Namun, satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA, Hadi memerintahkan agar Direktur PPh mengubah kesimpulan, yaitu dari semula menyatakan menolak diganti menjadi menerima semua keberatan.
Hadi kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak yang memutuskan untuk menerima semua keberatan wajib pajak. Direktorat PPh tak bisa lagi memberikan tanggapan yang berbeda atas putusan Dirjen Pajak tersebut.
Atas perbuatan Hadi ini, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 375 miliar. Uang tersebut merupakan pajak yang seharusnya diterima negara dari BCA.
Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, hingga setahun kemudian, KPK belum melakukan penahanan terhadap Hadi Poernomo.
Baca juga: Dapat Bintang Mahaputra meski Pernah Jadi Tersangka KPK, Ini Kata Hadi Poernomo
Ia pun mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim tunggal praperadilan mengabulkan gugatan Hadi. Ia pun terbebas dari status tersangka.
Dalam putusan praperadilan, hakim memutuskan bahwa penyidikan yang dilakukan KPK terhadap Hadi Poernomo tidak sah. Hakim memutuskan penyidikan KPK harus dihentikan.
Namun, putusan tersebut ditentang Mahkamah Agung. Hakim MA beralasan, praperadilan telah melampaui batas wewenangnya dan dapat dikualifikasi sebagai upaya mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan KPK.
Selain itu, menurut MA, pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, seharusnya hanya menilai aspek formal, yaitu apakah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan tidak boleh memasuki materi perkara.
Pasca-putusan MA tersebut, KPK sempat menyatakan bahwa mereka akan menetapkan kembali Hadi sebagai tersangka. Namun, hingga beberapa kali berganti kepemimpinan, KPK tak membuka lagi kasus itu.
2. Harry Azhar Azis (Ketua BPK periode 2014-2017)
Meski tak tersandung kasus hukum, namun nama Harry berada di dalam dokumen Panama Papers yang pernah diungkap Koran Tempo pada Rabu (13/4/2016).
Dalam koran itu, disebutkan bahwa Harry merupakan pemilik salah satu perusahaan offshore, Sheng Yue International Limited.
Sheng Yue International Limited diduga adalah perusahaan yang didirikan di negara suaka pajak dengan tujuan menghindari pembayaran pajak dari wajib pajak kepada negara asalnya
Harry pun dilaporkan Koalisi Selamatkan BPK ke Komite Etik BPK atas dugaan pelanggaran kode etik.
Baca juga: Soal Kasus Harry Azhar, BPK Diminta Tegakkan Kode Etik