Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

7 Penerima Tanda Jasa dari Jokowi yang Pernah Terjerat Polemik Hukum..

Kompas.com - 16/08/2019, 19:24 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita ,
Bayu Galih

Tim Redaksi

Nama Abdul Kadir Mappong pernah dilaporkan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara ke polisi atas dugaan korupsi.

Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas pada 11 Maret 2004, Mappong dilaporkan ke polisi atas penerimaan uang sebesar Rp 125 juta pada tahun 2000.

Uang itu terdiri atas Rp 75 juta dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur yang diterima Juli 2000 dan Rp 50 juta dari pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jawa Timur (pada April 2000).

Ketika itu, Mappong menjadi Ketua Pengadilan Tinggi di Surabaya.

Pemberitaan soal korupsi itu menjadi batu sandungan bagi Mappong karena saat itu ia tengah mengikuti seleksi calon wakil ketua MA.

6. Djaman Andhi Nirwanto (Wakil Jaksa Agung periode 2013-2016)

Andhi pernah tersandung isu bahwa dirinya pernah berurusan dengan kepolisian saat dicalonkan menjadi Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) pada 2011.

Dilansir dari Kontan.co.id, saat itu beredar kabar bahwa Andhi pernah ditangkap polisi dan dijadikan tersangka terkait tuduhan pemalsuan Berita Acara Pemeriksaa (BAP).

Ia bahkan disebut pernah ditahan terkait pemalsuan BAP saksi Kikie Haryanto dalam kasus pembunuhan Nyo Beng Seng pada 1997 silam.

Namun, Kejaksaan Agung saat itu membantah keras.

Meski begitu, mereka tak menampik Andhi pernah diperiksa polisi, namun hanya senagai saksi dalam posisinya sebagai jaksa penuntut pengganti yang menyidangkan perkara tersebut.

7. Prajogo Pangestu (Presiden Komisaris PT. Barito Pacific Tbk)

Polri pernah menetapkan Prajogo sebagai tersangka kasus penipuan. Prajogo dilaporkan pengusaha Henry Pribadi, pemegang saham PT Chandra Asri.

Prajogo memang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian sejak dilaporkan oleh Henry Pribadi pada 23 Maret 2006.

Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas pada 28 April 2006, Hotman Paris Hutapea selaku pengacara Prajogo menjelaskan, perseteruan tersebut berawal ketika krisis moneter tahun 1998.

Saat itu, beberapa pemilik saham PT Chandra Asri hendak menjual saham perusahaan yang terlilit utang hingga hampir Rp 10 triliun. Akhirnya, Prajogo bersedia membeli seluruh saham sekaligus menanggung seluruh utang.

Di tempat terpisah, penasihat hukum Henry, Lucas, menyatakan bahwa kliennya melaporkan Prajogo karena tidak melihat niat konkret Prajogo memenuhi kewajibannya.

Kewajiban tersebut ditekankan sendiri oleh Prajogo dalam pernyataan tertulis di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 1998.

Akan tetapi, kasus ini kemudian dihentikan.

Kasus ini bukan kasus pertama Prajogo. Pada 2003, ia pernah terjerat kasus mark up nilai proyek hutan tanaman industri yang dilakukan perusahaannya, PT Musi Hutan Persada.

Perusahaan itu dianggap merugikan keuangan negara dari penggunaan dana reboisasi sebesar Rp 151 miliar.

Namun, dilansir dari Harian Kompas pada 30 April 2003, kasus itu dihentikan dan Prajogo terbebas dari status tersangka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Momen Jokowi 'Nge-Vlog' Pakai Baju Adat Jelang Upacara di Riau

Momen Jokowi "Nge-Vlog" Pakai Baju Adat Jelang Upacara di Riau

Nasional
Refleksi Hari Pancasila, Mahfud Harap Semua Pemimpin Tiru Bung Karno yang Mau Berkorban untuk Rakyat

Refleksi Hari Pancasila, Mahfud Harap Semua Pemimpin Tiru Bung Karno yang Mau Berkorban untuk Rakyat

Nasional
Singgung Kesejarahan Ende dengan Bung Karno, Megawati: Pancasila Lahir Tidak Melalui Jalan Mudah

Singgung Kesejarahan Ende dengan Bung Karno, Megawati: Pancasila Lahir Tidak Melalui Jalan Mudah

Nasional
Minta Tapera Tak Diterapkan, PDI-P: Rakyat Sedang Hadapi Persoalan yang Berat

Minta Tapera Tak Diterapkan, PDI-P: Rakyat Sedang Hadapi Persoalan yang Berat

Nasional
 Jokowi Targetkan Blok Rokan Produksi Lebih dari 200.000 Barel Minyak per Hari

Jokowi Targetkan Blok Rokan Produksi Lebih dari 200.000 Barel Minyak per Hari

Nasional
Aturan Intelkam di Draf RUU Polri Dinilai Tumpang Tindih dengan Tugas BIN dan BAIS TNI

Aturan Intelkam di Draf RUU Polri Dinilai Tumpang Tindih dengan Tugas BIN dan BAIS TNI

Nasional
Revisi UU TNI-Polri, PDI-P Ingatkan soal Dwifungsi ABRI

Revisi UU TNI-Polri, PDI-P Ingatkan soal Dwifungsi ABRI

Nasional
Antam Pastikan Keaslian dan Kemurnian Produk Emas Logam Mulia

Antam Pastikan Keaslian dan Kemurnian Produk Emas Logam Mulia

Nasional
Hasto PDI-P: Banteng Boleh Terluka, tapi Harus Tahan Banting

Hasto PDI-P: Banteng Boleh Terluka, tapi Harus Tahan Banting

Nasional
Sentil Penunjukan Pansel Capim KPK, PDI-P: Banyak yang Kita Tak Tahu 'Track Record' Pemberantasan Korupsinya

Sentil Penunjukan Pansel Capim KPK, PDI-P: Banyak yang Kita Tak Tahu "Track Record" Pemberantasan Korupsinya

Nasional
Respons Putusan MA, Demokrat: Bisa Ikut Pilkada Belum Tentu Menang

Respons Putusan MA, Demokrat: Bisa Ikut Pilkada Belum Tentu Menang

Nasional
Blok Rokan Jadi Penghasil Migas Terbesar Se-Indonesia, Jokowi Berikan Apresiasi

Blok Rokan Jadi Penghasil Migas Terbesar Se-Indonesia, Jokowi Berikan Apresiasi

Nasional
Tiru India, Pemerintah Siapkan PP Mudahkan Diaspora Balik ke Indonesia

Tiru India, Pemerintah Siapkan PP Mudahkan Diaspora Balik ke Indonesia

Nasional
Menpan-RB Dorong Kantor Perwakilan RI Terapkan Pelayanan Publik Terintegrasi

Menpan-RB Dorong Kantor Perwakilan RI Terapkan Pelayanan Publik Terintegrasi

Nasional
Putusan MA soal Usia Calon Kepala Daerah Dinilai Beri Karpet Merah Dinasti Jokowi

Putusan MA soal Usia Calon Kepala Daerah Dinilai Beri Karpet Merah Dinasti Jokowi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com