Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus 27 Juli, Kenapa Megawati Memilih Diam, Tak Bersuara...

Kompas.com - 27/07/2019, 07:00 WIB
Nibras Nada Nailufar,
Heru Margianto

Tim Redaksi

Kasus 27 Juli adalah titik penting perjalanan politik Megawati. Peristiwa itu membentuk sosok Megawati yang kita kenal saat ini. Tapi, kenapa Mega memilih diam soal penuntasan kasus ini?

 

TEPAT Sabtu 23 tahun lalu, 27 Juli 1996, suasana Jakarta mencekam. Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diambil alih paksa lewat pertumpahan darah.

Peristiwa yang dikenal sebagai Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) ini adalah salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi Indonesia. Menyisakan misteri sekaligus membentuk Megawati Soekarnoputri yang kita kenal sekarang.

Sebelum sampai ke kerusuhan, hampir satu dekade lamanya PDI mengalami konflik internal. Bergabungnya Megawati ke PDI pada 1987 meresahkan banyak pihak, terutama pemerintah Orde Baru.

Kala itu, keluarga Soekarno menjadi korban ambisi Soeharto. Upaya de-Soekarnoisasi dilakukan dengan membatasi pergerakan putra-putri Soekarno, terutama dalam politik.

Hanya ada tiga pilihan partai saat itu. Partai Golkar yang menjadi alat Orde Baru melanggengkan kuasa, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan PDI. Sejak pemilu 1977, PDI selalu memperoleh nomor buncit dengan perolehan suara tak lebih dari 10 persen.

Upaya mendongkrak suara dilakukan dengan mendekati Mega. Kendati keluarga Soekarno sepakat tak ikut politik praktis, pada 1987 Mega akhirnya luluh bergabung ke PDI.

Ketua Umum PDI saat itu, Soerjadi, berhasil menjadikan Megawati dan adiknya Guruh Soekarnoputra sebagai vote getter bagi mereka yang merindukan sosok Soekarno.

Mega menjadi anggota DPR dan karier politiknya di PDI melejit.

Melejitnya suara PDI pada pemilu 1987 dan 1992 mengkhawatirkan penguasa Orde Baru. Begitu pula Soerjadi yang ketokohannya tersaingi Megawati waktu itu.

Meski dijegal, Megawati akhirnya berhasil menjabat Ketua Umum PDI berdasarkan hasil Kongres PDI di Surabaya pada 1993. Dengan dukungan mayoritas kader PDI, ia merebut pucuk kepemimpinan dari Soerjadi.

Pascaterpilih sebagai ketua umum, Megawati berkeliling Indonesia untuk konsolidasi dan menemui rakyat. Ketidaksukaan pemerintah Orde Baru akan popularitas Megawati justru membuat Megawati makin dicintai. Ia adalah simbol perlawanan terhadap tekanan Orde Baru.

Namanya bahkan sempat diusulkan sebagai calon presiden. Pemerintah Orde Baru yang mengendus ancaman ini segera merancang skenario untuk menggembosi kekuatan Megawati.

Pada 1996, Kongres PDI digelar di Medan. Soerjadi digunakan pemerintah untuk mendongkel Megawati.

Soerjadi mengklaim kemenangan. Menteri Dalam Negeri saat itu, Yogie S Memed, dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung hadir memberi restu.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hasil kongres Medan, Soerjadi,  beserta pengurus lainnya diterima Panglima ABRI Feisal Tanjung yang disertai para Kepala Staf Angkatan dan Polri serta Kepala BIA, di Mabes ABRI, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu pagi, 3 Juli 1996. Mereka yang datang antara lain Ismunandar, Butu R Hutapea dan Fatimah Ahmad. KOMPAS/ EDDY HASBY Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hasil kongres Medan, Soerjadi, beserta pengurus lainnya diterima Panglima ABRI Feisal Tanjung yang disertai para Kepala Staf Angkatan dan Polri serta Kepala BIA, di Mabes ABRI, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu pagi, 3 Juli 1996. Mereka yang datang antara lain Ismunandar, Butu R Hutapea dan Fatimah Ahmad.

Megawati sendiri dan pendukungnya tak hadir dalam kongres. Di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia, unjuk rasa digelar memprotes PDI versi Soerjadi yang dibekingi pemerintah. Dukungan untuk Mega mengalir deras.

Mega dituduh makar

Selain aksi unjuk rasa, PDI kubu Megawati juga melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bambang Widjojanto yang kini jadi pembela Prabowo dulu membela Megawati di pengadilan.

Mega juga menggerakkan mimbar bebas bak dukungan bagi Corazon Aquino ketika rezim Ferdinand Marcos berkuasa di Filipina. Di DPP PDI di Jalan Diponegoro, mimbar bebas digelar setiap hari.

Sejarawan Peter Kasenda dalam bukunya Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat (2018) mencatat mimbar tersebut tak disukai ABRI dan polisi. Pangab Jenderal Feisal Tanjung bahkan menuduh mimbar tersebut sebagai makar.

"Itu bukan bangsa Indonesia lagi. Saya kira itu PKI," kata Feisal.

Tuduhan itu segera dibalas Megawati. Ia mengatakan, mimbar digelar untuk menyalurkan suara rakyat yang terinjak-injak. Ia mengaku kegiatannya tak ditutup-tutupi dan tak ada agenda makar.

"Kalau saya mau membuat makar tentu sudah saya lakukan. Kami hanya ingin menjaga harga diri warga yang porak-poranda dengan adanya Kongres Medan," kata Megawati di depan puluhan wartawan asing dan nasional di akhir Juli 1996.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com