Tak mengakui Kongres Medan yang memenangkan Soerjadi, PDI kubu Megawati pun menjaga DPP siang malam. Pasalnya, isu perebutan DPP sudah merebak. Yang mereka lakukan hanya menjaga dan mencoba mempertahankan.
Para simpatisan bahkan sudah menandatangani surat tidak akan menuntut Megawati jika nanti mereka harus kehilangan nyawa.
Yang ditakutkan tapi dinanti tiba juga. Mirip operasi intelijen, kantor DPP PDI yang dijaga pendukung Megawati itu akhirnya digeruduk pendukung PDI kubu Soerjadi di saat fajar 27 Juli 1996.
Harian Kompas lewat tulisannya Kronologi Kerusuhan 27 Juli mencatat, massa PDI pendukung Soerjadi mulai berdatangan dengan menggunakan delapan kendaraan truk mini bercat kuning.
Baca juga: Mengenang 27 Juli 1996, Ini Kronologi Penyerbuan Kantor DPP PDI
Terjadi dialog antara delegasi massa PDI pendukung Soerjadi dan massa PDI pendukung Megawati sekitar 15 menit. Massa kubu Megawati meminta agar kantor dinyatakan sebagai status quo. Kesepakatan tidak tercapai.
Pukul 06.35 terjadi bentrokan di antara kedua kubu. Massa PDI pendukung Soerjadi yang mengenakan kaus warna merah bertuliskan "DPP PDI Pendukung Kongres Medan" serta mengenakan ikat kepala melempari kantor DPP PDI dengan batu dan paving-block.
Massa PDI pendukung Megawati juga membalas dengan benda seadanya yang terdapat di sekitar halaman kantor. Massa PDI pendukung Megawati akhirnya berlindung di dalam gedung sebelum kemudian diduduki massa PDI pendukung Soerjadi.
Sekitar dua jam kemudian, aparat keamanan mengambil alih dan menguasai kantor DPP PDI. Gedung itu dinyatakan sebagai area tertutup. Ruas Jalan Diponegoro tidak dapat dilewati. Pers asing dan nasional tak diperkenankan mendekat.
Pagi itu, puluhan pendukung Mega sudah babak belur terluka akibat saling lempar batu. Sebagian mereka diamankan.
Memasuki siang hari, pukul 11.00, massa memadati ruas Jalan Diponegoro dan sekitarnya. Jumlahnya menjadi ribuan. Tak cuma pendukung Mega, sejumlah aktivis LSM dan mahasiswa menggelar aksi mimbar bebas di bawah jembatan layang kereta api, dekat Stasiun Cikini.
Mimbar bebas ini kemudian beralih ke Jalan Diponegoro. Aksi mimbar bebas ini kemudian dengan cepat berubah menjadi bentrokan terbuka antara massa dan aparat keamanan.
Bentrokan terbuka antara massa dan aparat semakin meningkat sehingga aparat terpaksa menambah kekuatan. Setelah itu massa terdesak mundur ke arah RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) dan Jalan Salemba.
Massa kemudian membakar tiga bus kota, termasuk satu bus tingkat. Massa juga membakar beberapa gedung di Jalan Salemba.
Lima panser, tiga kendaraan militer khusus pemadam kebakaran, 17 truk, dan sejumlah kendaraan militer lain dikerahkan dari Jalan Diponegoro menuju Jalan Salemba. Kerusuhan baru dapat diredam pada malam hari.
Pasca-kejadian itu, informasi tentang jumlah korban tewas dan luka simpang siur. Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso menyebut "hanya" dua orang yang tewas dan 26 luka-luka.
Ini pun disebut bukan dari kubu Mega, melainkan dari kubu Soerjadi yang mengalami serangan jantung. Satu lagi adalah satpam yang loncat dari lantai tujuh karena gedungnya hendak dibakar massa.
Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang kala itu dipimpin Bambang Widjojanto menyatakan 47 orang dirawat di RSCM, 10 orang dirawat di RS Cikini, dan 1 orang di RS Fatmawati.
Minggu tanggal 28 Juli 1996 sekitar pukul 09.00, tiga mobil jenazah keluar dari RS Cikini dengan pengawalan tentara.
Kamar mayat RS Cikini dijaga ketat oleh tentara yang melarang siapa pun mendekat. Di hari yang sama, sejumlah wartawan yang sempat masuk ke kamar mayat RSCM menjumpai puluhan mayat yang penuh luka penganiayaan.
Sementara Komnas HAM menyimpulkan 5 orang tewas, 149 orang luka-luka, 23 hilang, dan 136 ditahan akibat peristiwa itu. Penyelidikan digelar dengan kewenangan terbatas Komnas HAM, tetapi tak pernah ada tindak lanjut.
Pihak ABRI saat itu menuding kerusuhan dimotori kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai Rakyat Demokratik (PRD) turut dituding jadi dalang kerusuhan.
Aktivis PRD Budiman Sudjatmiko yang kini jadi anggota DPR dari PDI-P dijebloskan ke penjara dengan hukuman 13 tahun penjara.