Pihak lain yang juga menyatakan ketidaksetujuannya adalah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Mereka menyarankan pemerintah mengkaji ulang urgensi dari pembentukan Tim Hukum Nasional ini.
"Sikap yang dikeluarkan pemerintah ini menunjukkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap sistem peradilan pidana yang selama ini sudah ada. Pemerintah tidak seharusnya turut campur dalam penegakan hukum pidana," kata Direktur Eksekutif ICJR Anggara melalui keterangan tertulis.
Baca juga: ICJR Minta Pemerintah Kaji Ulang Rencana Pembentukan Tim Hukum Nasional
Sementara itu, Amnesty International menilai Tim Hukum Nasional ini rentan disalahgunakan untuk mengkriminalisasi tokoh-tokoh yang aktif mengkritik pemerintah.
"Berpotensi menimbulkan over-kriminalisasi di Indonesia. Membungkam kritik, apalagi lewat pemidanaan," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid.
Usman Hamid berujar, selama ini tanpa adanya tim ini pun sudah banyak pihak yang diproses hukum karena mengkritik pemerintah.
"Tanpa pengawasan tersebut saja sudah banyak orang yang diproses hukum karena mengkritik otoritas di Indonesia, termasuk presiden. Terlebih lagi ada kecenderungan bahwa pengawasan itu untuk menarget tokoh-tokoh yang aktif mengkritik pemerintah pasca pemilihan presiden 17 April," kata Hamid.
Pembentukan tim ini justru menjadikan pemerintah anti kritik dan merusak kultur oposisi yang dibutuhkan dalam jalannya sebuah negara demokrasi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggap saat ini sudah terlalu banyak orang yang melakukan cercaan melalui media baru, dan hukum yang ada saat ini belum memadai untuk kasus-kasus itu.
“Saya kira Pak Wiranto mengatakan siapa yang melanggar hukum. Ini kan karena teknologi baru. Cara orang mencerca dengan medsos. Itu tidak semuanya tercantum dalam aturan-aturan yang sudah ada,” kata JK, Selasa (7/5/2019).
Tim ini tidak hanya menyasar tokoh-tokoh yang biasa melontarkan kritik kepada pemerintah, melainkan semua pihak. Meskipun demikian, Kalla menegaskan, tidak semua yang mengkritik pemerintah akan dikenai hukum, selama tidak ada nilai yang dilanggar.
Kemudian, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengimbau masyarakat untuk tidak mengartikan pembentukan Tim Hukum Nasional ini sebagai kembalinya rezim otoriter di Indonesia.
"Kita lihat dulu, itu proporsional atau tidak. Secara akademik dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Tetapi jangan kemudian itu dikritisi sebagai sebuah pertanda kembalinya mesin otoriter dan lain sebagainya,” ungkapnya di komplek Parlemen Senayan, Rabu (8/5/2019).
Baca juga: Politisi PPP: Tim Hukum Nasional Jangan Dianggap Pertanda Kembalinya Mesin Otoriter
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menganggap tidak ada yang aneh dari upaya pemerintah ini, karena Indonesia merupakan negara hukum.
“Kita negara hukum dan itu sah untuk dilakukan. Itu hanya untuk mengedepankan budaya tertib hukum dari pemerintahan Pak Jokowi. Apapun, pemerintahan punya tugas melindungi seluruh warganya,” kata Hasto.
Lain halnya dengan politisi Partai Golkar Ace Hasan Syadzili yang meyakini pembentukan tim ini sebagai upaya kehati-hatian pemerintah dalam mengkaji peristiwa-peristiwa yang ada.
"Pembentukan tim hukum justru sebagai bentuk kehati-hatian pemerintah dalam mengambil kebijakan. Jadi justru pemerintah tidak ingin gegabah mengambil sebuah kebijakan kalau tanpa kajian dari para tokoh atau para akademisi," ujar Ace.
Sumber: Kompas.com (Rakhmat Nur Hakim, Ihsanuddin, Haryanti Puspa Sari, Jessi Carina)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.