KOMPAS.com – Pemerintah membentuk Tim Hukum Nasional sebagai bentuk tindak lanjut atas banyaknya prediksi kejadian meresahkan di masyarakat setelah Pemilu 2019 berlangsung pada 17 April lalu.
Tim ini secara resmi dibentuk pada rapat membahas keamanan pasca-pemilu di Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (Kemenko Polhukam), Jakarta, Senin (6/5/2019).
Hal ini disampaikan langsung oleh Menko Polhukam Wiranto.
"Hasil rapat salah satunya adalah, kami (pemerintah) membentuk Tim Hukum Nasional yang akan mengkaji ucapan, tindakan, pemikiran dari tokoh-tokoh tertentu, siapa pun dia yang nyata-nyata melanggar dan melawan hukum," ujar Wiranto, usai rapat.
Sejak awal, tim ini dibentuk untuk merespons banyaknya hal-hal yang dinilai melanggar hukum di tengah masyarakat, khususnya terkait dengan isu politik.
Setelah pemilu selesai digelar, keributan atas perbedaan kubu politik ternyata belum usai dan justru makin menjadi. Berbagai pihak menyatakan pendapatnya, dan pendapat tersebut kerap mengundang kontroversi di tengah masyarakat.
Adapun, mengkaji setiap tindakan atau ucapan yang dinilai meresahkan dan mengancam persatuan bangsa apakah tergolong pelanggaran hukum (inkonstitusional), merupakan tugas utama mengapa Tim Hukum Nasional ini dibentuk.
Baca juga: Pemerintah Bentuk Tim Hukum Nasional Sikapi Aksi Meresahkan Pascapemilu
Wiranto menyebut anggota tim terdiri dari pakar dan praktisi hukum, staf Polhukam, anggota Polri, juga akademisi dengan kompetensi di bidang yang bersangkutan.
Kamis (9/5/2019), diadakan rapat membahas koordinasi tugas tim dengan lembaga lain. Dalam rapat tersebut, diketahui terdapat 22 anggota di dalam tim tersebut, yaitu:
1. Prof Muladi, Praktisi Hukum
2. Prof Romli Atmasasmita, Staf Khusus Menko Polhukam Bidang Hukum dan Perundang-undangan
3. Prof Muhammad Mahfud MD, Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
4. Prof Dr Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana
5. Prof I Gede Panca Astawa, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
6. Prof Faisal Santiago, Guru Besar Hukum Universitas Borobudur dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Borobudur
7. Prof Dr Ade Saptomo, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila
8. Prof Dr Bintan R Saragih, Ahli Ilmu Negara UI dan UPH
9. Prof Dr Farida Patittinggi, Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
10. Dr Harsanto Nursadi, Ahli Administrasi Negara/ Hukum Tata Negara
11. Dr Teuku Saiful Bahri, Lektor Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta
12. Dr Teguh Samudera, Praktisi Hukum
13. Dr Dhoni Martim, Praktisi/Akademisi
14. Kepala Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM
15. Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam
16. Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi, dan Aparatur Kemenko Polhukam
17. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri
18. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo
19. Kepala Divisi Hukum Kepolisian RI
20. Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri
21. Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri
22. Indra Fahrizal, Staf Khusus Menko Polhukam Bidang Ekonomi dan Moneter
23. Asistensi Deputi Koordinasi Penegakan Hukum Kemenko Polhukam
24. Adi Warman, Sekretaris Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam
Baca juga: Tim Hukum Bentukan Wiranto Mulai Bekerja, Ini Daftar Anggotanya
Terkait tim yang dibentuk oleh Wiranto, beberapa organisasi sipil menyatakan pendapat yang bernada kontra. Salah satunya diutarakan Komisi untuk Orang Hilang dan dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Koordinator Kontras Yati Andriyani menilai tim hukum yang dibuat Menko Polhukam Wiranto ini menunjukkan kepanikan pemerintah.
"Ada kepanikan dan kekhawatiran sosial politik yang muncul pasca-pemilu," kata Yati saat dihubungi Kompas.com, Selasa (7/5/2019).
Ia juga menyebut hal ini sebagai sebuah upaya yang berlebihan, dan bentuk ketidakpercayaan pemerintah terhadap aparat penegak hukum yang justru dapat membatasi kebebasan berekspresi rakyatnya.
"Subyektivitas tim pemerintah akan rentan dan bisa melahirkan pembungkaman kebebasan berekspresi," ujarnya.
Baca juga: Bentuk Tim Hukum Nasional Kaji Ucapan Tokoh, Pemerintah Dinilai Panik
Pihak lain yang juga menyatakan ketidaksetujuannya adalah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Mereka menyarankan pemerintah mengkaji ulang urgensi dari pembentukan Tim Hukum Nasional ini.
"Sikap yang dikeluarkan pemerintah ini menunjukkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap sistem peradilan pidana yang selama ini sudah ada. Pemerintah tidak seharusnya turut campur dalam penegakan hukum pidana," kata Direktur Eksekutif ICJR Anggara melalui keterangan tertulis.
Baca juga: ICJR Minta Pemerintah Kaji Ulang Rencana Pembentukan Tim Hukum Nasional
Sementara itu, Amnesty International menilai Tim Hukum Nasional ini rentan disalahgunakan untuk mengkriminalisasi tokoh-tokoh yang aktif mengkritik pemerintah.
"Berpotensi menimbulkan over-kriminalisasi di Indonesia. Membungkam kritik, apalagi lewat pemidanaan," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid.
Usman Hamid berujar, selama ini tanpa adanya tim ini pun sudah banyak pihak yang diproses hukum karena mengkritik pemerintah.
"Tanpa pengawasan tersebut saja sudah banyak orang yang diproses hukum karena mengkritik otoritas di Indonesia, termasuk presiden. Terlebih lagi ada kecenderungan bahwa pengawasan itu untuk menarget tokoh-tokoh yang aktif mengkritik pemerintah pasca pemilihan presiden 17 April," kata Hamid.
Pembentukan tim ini justru menjadikan pemerintah anti kritik dan merusak kultur oposisi yang dibutuhkan dalam jalannya sebuah negara demokrasi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggap saat ini sudah terlalu banyak orang yang melakukan cercaan melalui media baru, dan hukum yang ada saat ini belum memadai untuk kasus-kasus itu.
“Saya kira Pak Wiranto mengatakan siapa yang melanggar hukum. Ini kan karena teknologi baru. Cara orang mencerca dengan medsos. Itu tidak semuanya tercantum dalam aturan-aturan yang sudah ada,” kata JK, Selasa (7/5/2019).
Tim ini tidak hanya menyasar tokoh-tokoh yang biasa melontarkan kritik kepada pemerintah, melainkan semua pihak. Meskipun demikian, Kalla menegaskan, tidak semua yang mengkritik pemerintah akan dikenai hukum, selama tidak ada nilai yang dilanggar.
Kemudian, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengimbau masyarakat untuk tidak mengartikan pembentukan Tim Hukum Nasional ini sebagai kembalinya rezim otoriter di Indonesia.
"Kita lihat dulu, itu proporsional atau tidak. Secara akademik dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Tetapi jangan kemudian itu dikritisi sebagai sebuah pertanda kembalinya mesin otoriter dan lain sebagainya,” ungkapnya di komplek Parlemen Senayan, Rabu (8/5/2019).
Baca juga: Politisi PPP: Tim Hukum Nasional Jangan Dianggap Pertanda Kembalinya Mesin Otoriter
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menganggap tidak ada yang aneh dari upaya pemerintah ini, karena Indonesia merupakan negara hukum.
“Kita negara hukum dan itu sah untuk dilakukan. Itu hanya untuk mengedepankan budaya tertib hukum dari pemerintahan Pak Jokowi. Apapun, pemerintahan punya tugas melindungi seluruh warganya,” kata Hasto.
Lain halnya dengan politisi Partai Golkar Ace Hasan Syadzili yang meyakini pembentukan tim ini sebagai upaya kehati-hatian pemerintah dalam mengkaji peristiwa-peristiwa yang ada.
"Pembentukan tim hukum justru sebagai bentuk kehati-hatian pemerintah dalam mengambil kebijakan. Jadi justru pemerintah tidak ingin gegabah mengambil sebuah kebijakan kalau tanpa kajian dari para tokoh atau para akademisi," ujar Ace.
Sumber: Kompas.com (Rakhmat Nur Hakim, Ihsanuddin, Haryanti Puspa Sari, Jessi Carina)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.