JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, Komisi Pemilihan Umum sejatinya adalah korban dari putusan hukum yang berbeda-beda terkait pencalonan Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
KPU, kata Ray, harus menanggung akibat dari putusan hukum yang berbeda antara MK dengan MA, PTUN dan Bawaslu.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 menyebut pengurus partai politik dilarang rangkap jabatan menjadi anggota DPD.
Baca juga: Formappi: Serangan OSO ke KPU Adalah Dorongan untuk Meraih Kekuasaan
Sementara putusan MA menyatakan bahwa putusan MK tidak berlaku surut. Putusan PTUN memerintahkan KPU mencabut Surat Keputusan Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPD yang tidak memuat nama OSO.
Majelis Hakim juga meminta KPU menerbitkan DCT baru dengan mencantumkan nama OSO di dalamnya.
Sedangkan putusan Bawaslu meminta KPU memasukan nama OSO ke DCT sebagai bentuk pelaksanaan putusan PTUN.
"Sebetulnya KPU korban dari kebijakan yang berbeda-beda, KPU seperti mengalami dilema dari putusan hukum yang satu sama lain saling bertabrakan. Uniknya, KPU justru yang harus menanggung akibatnya," kata Ray dalam konferensi pers dan pernyataan sikap Menolak Kriminalisasi Anggota KPU yang digelar di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (30/1/2019).
Baca juga: Diancam OSO, KPU Bilang Bukan Anak Buah Presiden dan DPR
Ray mengatakan, jika KPU melaksanakan putusan PTUN dan Bawaslu, maka sama saja KPU mengabaikan putusan MK.
Kondisi ini bisa menyebabkan KPU dilaporkan oleh kalangan yang pro terhadap konstitusi.
Sebaliknya, jika KPU mengamalkan putusan MK, KPU akan dianggap tidak melaksanakan putusan PTUN dan Bawaslu.
KPU dalam hal ini juga berpotensi dilaporkan pihak yang berpedoman pada putusan PTUN.
"Jadi dia mundur kena, maju pun kena," ujar Ray.
Kondisi ini bukan kesalahan KPU, melainkan efek dari keputusan hukum yang berbenturan yang selanjutnya harus ditanggung oleh KPU.
Baca juga: 203 Caleg DPD Serahkan Pernyataan Mundur dari Parpol, Hanya OSO yang Tak Mau
Untuk mengakhiri situasi gaduh ini, menurut Ray, para pembuat aturan, yaitu MK, MA, PTUN, dan Bawaslu harus bertemu untuk memikirkan cara menyelesaikan kasus pencalonan OSO.
Merekalah yang sesungguhnya harus bertanggung jawab terhadap situasi hukum yang berbenturan lantaran putusan-putusan hukum itu lahir dari mereka.
"Setidaknya mereka koordinasi mana aturan yang harus didahulukan dan seterusnya supaya jelas KPU berada di posisi seperti apa, sehingga dengan begitu KPU tidak bisa digugat," ujar Ray.
Putusan PTUN memerintahkan KPU mencabut SK DCT anggota DPD yang tidak memuat nama OSO.
Majelis Hakim juga meminta KPU menerbitkan DCT baru dengan mencantumkan nama OSO di dalamnya.
Putusan Bawaslu memerintahkan KPU untuk memasukkan OSO dalam daftar calon anggota DPD dalam Pemilu 2019.
Tetapi, OSO tetap harus mundur sebagai pengurus Partai Hanura jika kembali lolos sebagai anggota DPD periode 2019-2024.
Surat pengunduran diri OSO harus diserahkan ke KPU satu hari sebelum penetapan calon anggota DPD terpilih.
Alih-alih memasukan nama OSO ke DCT, KPU meminta yang bersangkutan mundur dari Ketua Umum Partai Hanura sebagai syarat pencalonan anggota DPD.
Sikap KPU ini diklaim berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang melarang pengurus partai politik dilarang rangkap jabatan menjadi anggota DPD.
Namun, hingga batas waktu yang diberikan, yaitu Selasa (22/1/2019) OSO tak serahkan surat pengunduran diri tersebut.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.