JAKARTA, KOMPAS.com - Pencalonan Òesman Sapta Odang sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menjadi polemik panjang karena statusnya sebagai Ketua Umum Partai Hanura.
Pada masa pencalonan, OSO maju sebagai caleg DPD dapil Kalimantan Barat. Namanya sempat masuk ke Daftar Calon Sementara (DCS) anggota DPD yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Juli 2018.
Tak lama setelah nama OSO masuk DCS, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan uji materi Pasal 182 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Uji materi tersebut menyoal aturan seorang anggota DPD.
Putusan yang terbit pada 23 Juli 2018 itu menyatakan, pengurus partai politik dilarang rangkap jabatan sebagai anggota DPD.
Atas dasar putusan itu, KPU memperbarui PKPU nomor 14 tahun 2018 menjadi PKPU nomor 26 tahun 2018. KPU menambahkan frasa "pengurus partai politik" sebagai pihak yang tidak boleh rangkap jabatan sebagai anggota DPD.
Baca juga: Bawaslu Dinilai Inkonsisten dalam Putusan Kasus OSO
Dengan adanya putusan MK, KPU memutuskan tidak memasukkan nama OSO dalam Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPD yang diterbitkan pada 20 September 2018.
Tak terima, OSO melaporkan KPU ke Bawaslu atas keputusan tersebut.
Selama hampir satu bulan, Bawaslu menggelar sidang ajudikasi dengan mendalami keterangan pelapor, terlapor, saksi ahli dan fakta, serta memeriksa alat bukti.
Pada 11 Oktober 2018, Bawaslu mengeluarkan putusan yang bunyinya menolak gugatan OSO. Langkah OSO maju sebagai caleg anggota DPD kembali terhambat.
Tak berhenti, OSO mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Di MA, OSO menggugat PKPU Nomor 26 Tahun 2018 yang memuat larangan pengurus partai politik rangkap sebagai anggota DPD.
Baca juga: Putusan Bawaslu soal OSO Dinilai Munculkan Masalah Baru
Sementara, di PTUN, ia menggugat surat keputusan (SK) KPU mengenai DCT anggota DPD yang tak memuat namanya.
Pada 30 Oktober 2018, MA mengabulkan gugatan OSO. Disebutkan bahwa larangan pengurus partai politik rangkap jabatan sebagai anggota DPD tidak dapat berlaku surut.
Pihak OSO menilai, pemberlakuan aturan tersebut diberlakukan surut kepada mereka. Sebab, nama OSO sebelumnya sudah tercantum di DCS.
Sementara, KPU berargumen, tahap pencalonan anggota DPD tidak berhenti di penerbitan DCS, tetapi DCT.
Oleh karena itu, meski sempat memasukkan nama OSO ke DCS dan tidak memasukkan nama yang bersangkutan ke DCT, KPU menganggap tidak memberlakukan aturan itu secara surut.
Pada 14 November 2018, PTUN juga mengaabulkan gugatan OSO. Dalam putusannya, Majelis Hakim PTUN memerintahkan KPU mencabut DCT anggota DPD yang tidak memuat nama OSO.
Majelis juga meminta KPU menerbitkan DCT baru dengan mencantumkan nama OSO di dalamnya.
Baca juga: Ada Dissenting Opinion dalam Putusan Bawaslu soal Kasus OSO
Atas tiga putusan lembaga peradilan hukum itu, KPU mempertimbangkan berbagai hal. KPU menilai, ada pertentangan antara putusan MK dengan MA dan PTUN yang menyebabkan pihaknya dilema dalam bersikap.
Dalam upaya mengambil sikap, KPU banyak berdiskusi dengan sejumlah ahli hukum tata negara, pegiat pemilu, hingga mantan Ketua MK dan MA.