JAKARTA, KOMPAS.com — Tiga bulan masa awal kampanye Pilpres 2019, kontestasi politik dinilai masih belum berada pada tahap adu ide dan gagasan.
Masing-masing pasangan capres-cawapres masih cenderung adu istilah politik yang sensasional untuk saling menjatuhkan.
Penggunaan istilah politisi "sontoloyo" dan politik "genderuwo" sempat dilontarkan oleh calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo.
Sementara istilah "ekonomi kebodohan", "korupsi seperti kanker stadium 4", dan "manipulasi demokrasi" digunakan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto untuk mengkritik ketimpangan sosial.
Miskinnya adu gagasan antara tim kampanye masing-masing pasangan calon tersebut ternyata berpengaruh terhadap elektabilitas.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA Rully Akbar mengungkapkan, elektabilitas kedua pasangan tidak mengalami peningkatan yang signifikan atau cenderung stagnan selama dua bulan masa kampanye.
Berdasarkan hasil survei November 2018, elektabilitas pasangan Jokowi-Ma'ruf berada pada angka 53,2 persen dan Prabowo-Sandiaga sebesar 31,2 persen. Sementara responden yang masih belum menentukan pilihan sebesar 15,6 persen.
Elektabilitas kedua pasangan, kata Rully, tidak banyak bergerak jika dibandingkan sebelum masa kampanye.
Pada Agustus 2018, LSI mencatat elektabilitas Jokowi-Ma'ruf sebesar 52,2 persen dan Prabowo-Sandiaga 29,5 persen. Adapun responden yang belum menentukan pilihan sebanyak 18,3 persen.
"Akibatnya, dua bulan masa kampanye program dikalahkan isu sensasional yang tidak berpengaruh pada kenaikan elektabilitas," ujar Rully di Kantor LSI, Jakarta Timur, Kamis (6/12/2018).
Istilah "politisi sontoloyo" diucapkan Presiden Jokowi saat menghadiri pembagian sertifikat tanah di Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa (23/10/2018).
"Hati-hati. Banyak politikus yang baik-baik, tapi juga banyak politikus yang sontoloyo," kata Presiden Jokowi.
Awalnya, Jokowi bicara terkait program dana kelurahan yang mendapat banyak kritik dari sejumlah politisi kubu oposisi.
Baca juga: Sebut Banyak Politisi Sontoloyo, Ini Penjelasan Jokowi
Jokowi mengaku heran, program baru pemerintah dengan anggaran Rp 3 triliun itu justru dipermasalahkan sejumlah politisi. Padahal, ia menilai dana kelurahan ini penting untuk membangun berbagai infrastruktur dan fasilitas di tiap kelurahan.