Oleh: Adriana Elisabeth
SEJAK empat tahun terakhir, Papua menjadi prioritas dalam program pembangunan infrastruktur pemerintah yang bertujuan meningkatkan konektivitas dan menggugah daya saing daerah.
Sebagai daerah yang paling terisolasi, pembangunan jalan raya Trans-Papua, dan pembangunan infrastruktur lainnya dapat membuka akses bagi Papua.
Namun, proyek pembangunan yang dirintis oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo ini belum mampu merebut hati orang Papua.
Awal bulan Desember, pembangunan Trans-Papua terusik oleh penyerangan yang diduga dilakukan oleh tentara Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Nduga, Papua. Sedikitnya 16 orang, yang merupakan pekerja konstruksi proyek jembatan, tewas dalam peristiwa itu.
Kejadian ini menimbulkan pertanyaan: mengapa pembangunan di Bumi Cendrawasih tidak mampu menghentikan berulangnya aksi-aksi kekerasan di sana?
Peristiwa di Nduga mengonfirmasi analisis tim kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengenai akar persoalan di Papua, termasuk pelaku dan kepentingannya.
Sedikitnya terdapat empat akar persoalan di Papua seperti dipaparkan berikut ini.
1. Marjinalisasi dan diskriminasi terhadap penduduk asli Papua
Masalah ini sempat teratasi dengan penunjukan penduduk asli untuk memegang posisi politik strategis di Papua, seperti posisi kepala daerah.
Namun, bagaimana dengan akses pendidikan dan kesehatan bagi penduduk Papua, terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah pedalaman?
Faktanya, belum setiap orang Papua mendapatkan pelayanan yang memadai karena infrastruktur yang belum terhubung ke pelosok Papua. Belum lagi keterbatasan tenaga pendidik dan kesehatan, sehingga pelayanan menjadi sangat terbatas.
Hal ini ditunjukkan dengan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan yang profesional dan jumlah rumah sakit yang tidak seimbang dengan jumlah masyarakat.
Begitu pula dengan sektor pendidikan. Karena keterbatasan jumlah guru, seorang anak Kelas IX bernama Abraham Hubi dari desa terpencil tidak bisa membaca dan menulis dan harus mengikuti pelajaran tambahan.
Kasus campak dan kurang gizi di Kabupaten Asmat, Papua, yang pernah menjadi sorotan dan ramai diperbincangkan membuktikan adanya persoalan sosial di tanah Papua.
Hal ini merupakan bagian dari masalah hak asasi manusia (HAM) di mana aspek kesehatan bagi penduduk asli Papua belum terpenuhi.
2. Pembangunan yang tidak optimal di Papua
Hingga 2017, pemerintah telah menggeluarkan dana otonomi khusus (otsus) sebesar Rp 63,8 triliun. Alokasi ini di luar anggaran untuk pembangunan infrastruktur.
Alokasi dana otsus tahun 2018 masing-masing berjumlah sebesar Rp 8 triliun. Pada 2019, alokasi dana otsus untuk Papua adalah Rp 8,3 triliun.
Meski dana otsus cukup besar, kasus kelaparan dan kurang gizi seperti di Asmat mendorong perlunya evaluasi efektivitas dana otsus Papua agar pembangunan di sana optimal dan tidak menyebabkan konflik.
3. Masih adanya kekerasan dan pelanggaran HAM
Kasus penembakan di Nduga merupakan bukti bahwa kekerasan masih berlangsung di Papua. Dari kasus tersebut, ternyata pelaku kekerasan bukan hanya aparat keamanan, tetapi juga kelompok sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Untuk menindak kekerasan ini, kita harus bisa mendefinisikan kekerasan tersebut. Apakah ini termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM atau memang murni aksi kelompok ideologis berbasis kekerasan?
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.