JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani melihat negara belum serius mengungkap dalang pembunuh aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib hingga 14 tahun ini.
Yati berharap Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian tak menunda lagi penuntasan kasus Munir.
"14 tahun negara masih gagal mengungkap dalang pembunuh Munir. Pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa kasus Munir adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan masih sebatas janji tanpa bukti," kata Yati dalam pernyataan pers bersama sejunlah aktivis HAM di kantor Kontras, Jakarta, Jumat (7/9/2018).
Yati juga menilai ketidakjelasan keberadaan dokumen penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) meninggalnya Munir terkesan diabaikan. Jokowi, kata Yati, terus menghindar untuk memaksimalkan otoritas politiknya dalam pengungkapan kasus Munir.
"Termasuk mengabaikan kewajibannya untuk mengumumkan hasil penyelidikan TPF kepada masyarakat," kata dia.
Menurut Yati, peluang pengungkapan kasus Munir sangat terbuka. Hasil penyelidikan dan rekomendasi TPF bisa menjadi pintu masuk untuk membuka kembali berbagai temuan dan fakta dalam kasus ini.
Di sisi lain, fakta-fakta persidangan Pollycarpus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberi petunjuk yang cukup banyak. Ia memaparkan pada putusan perkara pidana nomor 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST atas nama Pollycarpus juga bisa menjadi batu loncatan.
Baca juga: Komentar Suciwati soal Pernyataan Kapolri Terkait Kasus Munir
Dalam putusan itu, kata Yati, Pollycarpus terlibat dalam pembunuhan berencana dan pemalsuan surat dalan kapasitas turut serta dalam pembunuhan Munir.
Pollycarpus juga menunjukan sikap yang tidak terus terang dan berbelit-belit. Ia melihat Pollycarpus menyimpan kebenaran yang ia ketahui dalam pembunuhan Munir.
"Pada putusan juga Pollycarpus terbukti tidak sendirian dan masih harus diselidiki lagi siapa saja yang turut serta," katanya.
Yati juga menyinggung pertimbangan majelis hakim yang menyebutkan adanya sejumlah komunikasi antara Pollycarpus dan Mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi Purwopranjono.
"Merujuk pada fakta dan petunjuk di atas, sudah seharusnya segera ditindaklanjuti secara sungguh-sungguh, serius dan profesional oleh jajaran di kepolisian," katanya.
Tepat pada 7 September, 14 tahun yang lalu, Munir mengembuskan napas terakhirnya di atas penerbangan Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974 tujuan Jakarta-Amsterdam yang transit di Singapura.
Munir tutup usia sekitar pukul 08.10 waktu setempat, atau dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam. Hasil autopsi memperlihatkan ada jejak-jejak senyawa arsenik di dalam tubuhnya. Munir meninggal akibat diracun.
Hingga kini, belum terungkap siapa auktor intelektualis di balik tewasnya Munir. Pengadilan telah menghukum Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot maskapai Garuda Indonesia yang juga eksekutor Munir. Pollycarpus pun kini telah bebas.
Baca juga: 14 Tahun Pembunuhan Munir, Ini Pesan Setara Institute untuk Pemerintah
Sejumlah fakta persidangan juga menyebut adanya dugaan keterlibatan petinggi Badan Intelijen Negara dalam kasus pembunuhan ini.
Namun, pada 13 Desember 2008, mantan Deputi V BIN Mayjen Purn Muchdi Purwoprandjono yang menjadi terdakwa dalam kasus ini divonis bebas dari segala dakwaan.
Di sisi lain, para aktivis HAM masih terus menuntut pemerintah mendorong proses hukum bagi auktor intelektualis peristiwa pembunuhan tersebut. Sebab, para aktivis HAM yakin masih ada aktor utama dibalik pembunuhan itu yang belum terungkap.