Dengan logika ini pula, kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa jika ada calon-calon yang sangat royal untuk membombardir masyarakat dengan instrumen-instrumen kampanye berbayar alias berbiaya, maka itu adalah pertanda bahwa mereka belum banyak bekerja. Sehingga, mereka membutuhkan instrumen pengungkit (leverage instrument) untuk mendapat banyak perhatian.
Jika ada calon baru yang ingin menumbangkan petahana, yang kebetulan dianggap oleh publik sebagai petahana berprestasi, maka tak pelak perlu kreativitas politik yang jauh lebih mumpuni alias tak melulu soal dana yang diharuskan lebih besar ketimbang yang dimiliki petahana.
Artinya, partai bisa saja membuat biaya kontestasi lebih murah. Mesin partai sudah seharusnya bekerja mendukung kandidat-kandidat yang mereka berikan rekomendasi tanpa biaya tinggi karena memang itulah salah satu tugas penting partai, yakni rekrutmen politik.
Sebagaimana pernah diucapkan oleh Fahri Hamzah belum lama ini bahwa partai adalah mesin pembakar uang paling masif, maka saya kira di tangan partai pula lah jawaban untuk persoalan biaya kontestasi pilkada yang mahal tadi berada, bukan di ranah demokrasi elektoral lokal.
Dan yang lebih penting, karena partai adalah satu-satunya jalur menuju DPR yang notabene punya wewenang legislasi dan budgeting, maka partai berhak mengajukan peraturan baru (UU baru atau revisi UU lama) soal pembiayaan partai di mana negara membiayai operasionalisasi fungsi-fungsi utama partai, termasuk rekrutmen politik.
Kemudian, partai via DPR pun berwenang mengajukan legislasi soal pembiayaan minimal calon-calon kepala daerah yang telah mendapat rekomendasi dari partai-partai tadi.
Boleh jadi ajuan tersebut tidak gratis. Sebagai komitmen resiprokalnya, partai pun harus siap dimintakan untuk membenahi tata kelola rekrutmen politiknya.
Pertama, partai harus bersepakat menghilangkan mahar dan bersedia diaudit secara profesional, terutama terkait dana APBN untuk aktivitas politik partai. Selain diaudit, baik partai maupun kandidat harus membuka laporan keuangannya atau fact sheet kekayaannya kepada publik.
Di sisi lain, partai-partai di tingkat lokal harus melakukan konvensi untuk menemukan calon kepala daerah yang akan mereka usung, misalnya, lengkap dengan kawalan media-media.
Jika perlu dilakukan plebisit internal dengan pembagian porsi suara DPP, DPW, dan DPD. Misalnya di tingkat kabupaten di mana pilkada akan dilangsungkan, DPD punya porsi suara 50 persen, DPW dan DPP 25 persen. Porsi terbanyak akan menentukan kepada siapa surat rekomendasi diluncurkan.
Untuk itu, beberapa waktu sebelumnya partai harus mengeluarkan kriteria strategis dan teknis untuk posisi calon kepala daerah yang akan mereka usung.
Kriteria itu ditembuskan kepada KPU dan semua stakeholder, bahkan jika perlu diumumkan ke publik dengan instrumen-instrumen humas partai yang ada.
Tujuannya agar dapat menjadi patokan apakah calon yang mendapat rekomendasi sudah memenuhi syarat atau belum dan lain-lain.
Saya kira, masih banyak cara yang patut kita uji cobakan demi mengikis penebalan pembiayaan politik pilkada.
Pertanyaannya, apakah partai bersedia untuk itu? Apakah partai bersedia memperjuangkannya di DPR?