Gambaran tersebut memberikan kesan, walau belum tentu benar, bahwa yang tengah diutamakan kini hanyalah penerbangan sipil komersial belaka.
Lalu siapa yang memikirkan nasib Angkatan Udara di Lanud Halim? Kemana mereka harus “curhat”?
Angkatan Udara sebagai bagian utuh dari jajaran Angkatan Perang dipastikan tidak akan komplain terhadap apapun yang diputuskan oleh atasan.
Sebagai Prajurit yang Sapta Margais dan berpedoman kepada Sumpah Prajurit, maka bagi Angkatan Udara (sudah dibuktikan selama puluhan tahun dalam menghadapi masalah seperti ini) apapun yang dihadapi, mereka tetap akan mencari jalan keluar sendiri dalam menghadapi kebijakan yang telah diputuskan di tingkat nasional.
Yang jelas posisi mereka kini memang tengah “tersisih” di rumahnya sendiri, dan saya percaya, sebagai prajurit sejati mereka tidak akan pernah mengeluh atau menyampaikan keluhan apapun terhadap kesemua yang tengah mereka hadapi ini.
Tanpa bermaksud untuk mendramatisasi situasi dan kondisi ini, maka mungkin kita perlu membantu mencarikan solusi yang lebih “sehat” dari kondisi dunia penerbangan yang tengah kita hadapi bersama ini.
Untuk disadari kita semua, mengelola penerbangan adalah sesuatu yang tidak mudah. Mengelola penerbangan adalah sesuatu yang memerlukan koordinasi antar kementrian dan institusi terkait.
Mengelola penerbangan adalah sesuatu yang harus taat azas, aturan, regulasi yang tidak hanya bersifat “domestik” akan tetapi juga kaidah-kaidah internasional.
Mengelola penerbangan adalah sesuatu yang sangat berkait tidak hanya melulu soal keuntungan finansial, akan tetapi jauh lebih penting adalah berkait dengan penyelenggaraan dari pelaksanaan manajemen pertahanan keamanan negara.
Mengelola penerbangan adalah juga menyangkut kepada kemampuan menjaga standar “international civil aviation safety standard” yang berhubungan langsung dengan martabat negara.
Tanggung jawab
Yang paling prinsip dalam persoalan ini adalah pengelolaan penerbangan sipil dan militer tidak boleh saling mengganggu satu dengan lainnya.
Karena di sinilah sebenarnya tanggung jawab pembuat kebijakan apabila nantinya terjadi hal-hal yang sangat tidak kita inginkan terjadi.
Sebenarnya hal-hal seperti ini sudah menjadi kajian yang cukup dalam oleh pemerintah Indonesia di tahun 1950an, lebih dari 65 tahun yang lalu.