JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola mengusulkan agar proses seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilakukan oleh panitia independen.
Hal itu dapat dilakukan dengan merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
Beleid ini mengatur proses seleksi anggota BPK dilakukan oleh Komisi IX DPR RI.
“Karena peran BPK yang sentral dalam pemberantasan korupsi, sudah sepatutnya untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, agar proses pemilihan itu dilakukan oleh panitia seleksi yang independen atau yang dibentuk oleh pemerintah,” ujar Alvin saat dihubungi, Jumat (10/5/2024).
Baca juga: Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP
Menurut Alvin, panitia independen diperlukan untuk mengantisipasi adanya partai politik yang ingin memanfaatkan kewenangan BPK demi kepentingan kelompoknya.
Selama ini, kata Alvin, para anggota BPK banyak diisi oleh kader maupun orang-orang dari partai politik. Kondisi tersebut cenderung membuat BPK sulit bersikap independen dalam mengaudit.
“Saat ini kelima anggota lembaga audit negara merupakan kader partai politik. Artinya BPK tidak lagi independen, terutama dalam hal memeriksa akuntabilitas keuangan negara,” kata Alvin.
Kecenderungan itu, lanjut Alvin, juga kerap dimanfaatkan untuk bisa memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP), dengan memberikan laporan hasil pemeriksaan keuangan yang sesuai kenyataan.
“Hasil audit BPK pada akhirnya juga rentan diselewengkan demi proteksi partai politik tertentu, hingga perdagangan opini WTP,” pungkasnya.
Baca juga: Sidang Kasus SYL Menguak Status Opini WTP BPK Masih Diperjualbelikan
Diberitakan sebelumnya, Sidang lanjutan kasus korupsi eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) pada Rabu (7/5/2024) lalu, menguak masih adanya indikasi jual-beli opini WTP dalam proses audit yang dilakukan oleh BPK.
Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Hermanto yang dihadirkan sebagai saksi mengungkapkan bahwa seorang auditor BPK bernama Victor pernah meminta uang Rp 12 miliar kepada Kementan.
Hermanto menyebutkan, uang itu diminta supaya hasil audit Kementan mendapatkan status WTP dari BPK.
Status WTP Kementan terganjal karena adanya indikasi fraud dengan nilai besar dalam pelaksanaan program food estate atau lumbung pangan nasional.
“Ada. Permintaan itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp 12 miliar untuk Kementan,” kata Hermanto, Rabu.
Baca juga: KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait Food Estate Ke Kementan
Namun, Hermanto mengatakan, Kementan tidak langsung memenuhi permintaan Victor.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta, Kementan hanya memberi Rp 5 miliar ke BPK.
“Enggak, kita tidak penuhi. Saya dengar tidak dipenuhi. Saya dengar mungkin (kalau) enggak salah sekitar Rp 5 miliar,” kata Herman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.